sepp

Rabu, 14 Juli 2010

BAB III

Teror Dan Surat

Suasana kelas itu begitu hening saat Aurell mengucapkan kata-kata yang terasa bagai petir di siang bolong bagi Alan, sementara itu Alan yang hanya bisa membeku tak percaya pada apa yang baru saja di dengarnya hanya bisa menatap Aurell tanpa bisa melakukan apa-apa. Keheningan di ruang kelas itu begitu mutlak terasa sangat mengerikan dan hanya diselingi isakan tertahan Aurell yang seusai berbicara langsung kembali menatap lantai di bawahnya, walaupun diluar masih terdengar suara anak-anak yang berjalan meninggalkan kelas mereka dengan bercanda-canda, Alan seolah dipisahkan dari dunia sekitarnya, merasa terasing, seperti baru saja hadir sebuah kenyataan yang mengerikan berdiri di hadapannya kini.

“Apa... apa maks... apa maksudmu dengan tidak bisa?” tanya Alan, kini suaranya sengau dan seperti terdengar sangat jauh sekali.

“Sekali lagi, maaf, Alan... apa kau sadar, apa yang selama ini aku lakukan untuk menjaga agar perasaan ini tetap ada di hatiku?” isak Aurell, masih belum mau memandang mata Alan.

“Apa—apa maksudmu?” tanya Alan, ekspresinya berubah menjadi bingung pada kata-kata Aurell.

“Aku menunggumu, Alan... menunggu selama tiga tahun, apa kau pikir tiga tahun itu waktu yang sebentar untuk menunggu agar kau berani mengutarakan ini semua!” isak Aurell, kini menatap marah pada Alan.

“Apa maksudmu, aku—aku benar-benar tidak mengerti, Aurell?” sendat Alan, yang kini wajahnya sudah sepucat tembok.

“Aku sayang padamu, Alan... sayang, sama seperti yang kau utarakan padaku tadi, tapi semua itu sudah terlambat... hanya karena kau terlalu pengecut untuk sekedar menghampiri ataupun menyatakan perasaanmu, walaupun kau tahu bahwa aku juga menyukaimu—kita saling menyukai sejak tiga tahun yang lalu!” bentak Aurell, kini wajahnya telah benar-benar banjir air mata.

“Tapi... tapi... jika kita memang benar saling menyukai, bukankah itu bagus... berarti semua baik-baik saja, kan... dan... dan kita bisa memulai hubungan ini dari awal lagi, bukan?” kata Alan, mencoba untuk tersenyum, akhirnya mengetahui penyebab Aurell mendadak marah begini.

“Seperti yang tadi aku bilang... maaf, aku tidak bisa, Alan... benar-benar tidak bisa...” ratap Aurell lemah.

“Tapi katamu tadi, bahwa kita saling…”

“Satu bulan yang lalu,” potong Aurell. “Keluargaku mengajakku ke sebuah acara di kota, aku dikenalkan oleh Dad pada anak rekan bisnisnya yang bernama, Louis” Aurell menarik nafas dalam-dalam, “Dan satu minggu yang lalu kami baru bertunangan...”

“T—tapi... tapi umurmu itu…”

“A-a-aku tahu...” isaknya seraya menubrukkan dirinya ke tubuh Alan dan memeluknya erat. “Maafkan aku, Alan... s—sungguh maaf...”

Setelah mengatakan itu, Aurell pun berlari meninggalkan kelas, meninggalkan Alan yang masih termangu menatap kosong kelebatan terakhir rambut cokelat Aurell yang melambai di belakangnya. Dan setelah Aurell pergi, dirinya merasa seperti ada yang baru saja menohok jantungnya dengan tombak, karena kebodohannyalah Aurell pergi, dan sekarang rasanya dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri yang terlalu pengecut sampai orang yang paling dicintainya pergi meninggalkannya, dan tanpa sadar ketika kemarahan menyelimuti hatinya, torehan tato sayap malaikat di punggung Alan seperti baru terbakar hingga mengeluarkan cahaya.

“ARGHHHHHH......!!!” teriaknya sambil memejamkan mata, untuk sekedar melepaskan beban kepedihan yang menyeret-nyeret hatinya, bagai ada sebuah jurang tak tampak yang memisahkan dirinya dari sisa dunia yang lain—dia sejak dulu adalah orang yang dicintai Aurell, hanya saja dia tidak pernah benar-benar berusaha untuk meraihnya.
Jack muncul dengan mendobrak pintu kelas yang tadi sedikit tertutup, dengan sedikit terengah menatap Alan yang kini tengah berlutut di lantai yang kepalanya tertunduk lemas dengan kedua tangan mencengkram lantai.

“Apa yang terjadi?” tanyanya cemas. “Aku melihat Aurell—dia berlari meninggalkan kelas sambil menangis—ada apa, Alan?”

Alan menatap Jack yang wajahnya kini sama pucatnya, dia tidak tahu bahwa seumur hidupnya dirinya belum pernah merasa semerana ini, bayangan Aurell yang menatapnya marah sambil menangis membuat hatinya semakin sakit saja.

“Aurell... dia—dia sudah bertunangan, dengan anak dari teman ayahnya...” katanya sembari berpaling dari Jack, seakan setiap kata yang keluar dari mulutnya
memerlukan usaha yang keras dan terdengar lebih menyakitkan ketika di ulang kembali.

“Ini... ini tidak mungkin...” seru Jack, dengan raut wajah tidak percaya, “T—tapi...” dia kehilangan suaranya ketika berjalan menghampiri Alan yang masih tertunduk lemas, dan dia bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang untuk menghibur sahabat karibnya itu, maka lalu Jack memutuskan untuk berkata, “Ayo, sebaiknya kita pergi dari sini, sobat”

***

Minggu-minggu berikutnya Alan masih belum bisa menerima kenyataan pahit yang menderanya, bahkan dalam waktu-waktu senggangnya ketika mengikuti setiap pelajaran dirinya masih menyempatkan diri untuk mencuri pandang ke arah Aurell, yang duduk empat meja di depannya. Tiga kali dia berpas-pasan dengan Aurell, namun mata Aurell selalu menatap ke arah lantai—menghindari bertatapan mata dengan dirinya, sampai di hati Alan tercetus rasa bahwa Aurell memang sengaja menghindarinya.

Di sabtu sore yang hangat, Alan dan Jack sedang asik bermain basket di lapangan dekat rumah Jack, dan basket adalah satu-satunya kegiatan dimana Alan tidak bisa menang dan ini membuat Jack senang, karena dia bisa meledek dan mengolok-olok Alan sebelum dia melakukan lemparan indah ke arah ring.

“Jack... time out!” kata Alan, tersengal kelelahan.

“Ada apa, Alan, apakah kau sudah merasa lelah melawanku?” tanya Jack, memainkan bola dengan lincah di sekitar kakinya.

“Yeah, aku menyerah... 62-0 sudah cukup bagiku.” gumam Alan, berjalan ke pinggir lapangan dan duduk di bangku panjang yang ada disitu.

“Alan, aku akui kau memang hebat dalam setiap mata pelajaran dan aku tak pernah bermimpi untuk dapat menyaingimu, tapi jujur saja kau lemah dalam dua hal.” kata Jack santai, kini bola itu berpusing cepat sekali di jari telunjuknya. “Kau tahu, cinta dan basket.”

“Diam kau... tidak cukup bagimu mempecundangiku hari ini, tanpa harus meledekku terus dengan dua hal itu!” kata Alan kesal.

“Hey, tunggu sebentar, aku tidak meledekmu, sobat, tapi justru sebaliknya aku memotivasimu, dengan cara yang berbeda, tentunya.” ujar Jack tertawa, sambil mengacak-acak rambut Alan.

“Oh, tutup mulutmu!” kata Alan ketus. “Kau pikir kau lebih hebat dariku apa soal percintaan, dan tolong ingatkan aku sudah berapa orang cewek yang menolakmu mentah-mentah, ketika kau mencoba untuk mengajak mereka berkencan, ha!” balasnya, gantian tertawa geli saat melihat Jack berubah-ubah air mukanya saking kagetnya.

Namun jack cepat menguasai diri seraya berkata dengan enteng. “Ya, itu resiko mereka, kenapa mereka terlalu naif untuk mengakui bahwa mereka sebenarnya tersanjung mendapat tawaran kencan dariku.” kilahnya membela diri. “Tapi intinya adalah bahwa aku, Jackson Bradley, tidak pernah takut untuk mengutarakan perasaanku pada wanita.” kata Jack, dengan gaya berapi-api, tersenyum menang melihat seringai enggan di wajah Alan.

“Jack, apakah orang itu tinggal di sekitar sini?” tanya Alan tajam, menunjuk ke arah seorang kakek yang tengah berdiri di ujung jalan, kakek itu berpakaian aneh, dia memakai jubah hitam sepanjang mata kaki, bola matanya sama seperti Alan berwarna orange terang, rambutnya yang sudah beruban menjuntai sampai ke bahu, dan sepatu yang di kenakan kakek itu aneh sekali, seperti semacam terompah mesir kuno, namun yang paling ganjil dari semua ini, kakek itu seperti menatap benci pada Alan seolah Alan telah melakukan hal yang buruk kepadanya.

“Tidak, aku belum pernah melihatnya,” kata Jack “Dan yang jelas dia tidak tinggal di dekat sini—aku kenal dengan semua orang disini.” tambahnya, memicingkan mata untuk melihat lebih jelas lagi. “Paling cuma orang lewat saja, kok, dan dia tidak sengaja melihat permainan basketku yang bagus dan saking terpukaunya dia sampai berhenti untuk melihatku bermain, begitu.” katanya santai, kembali memutar bola di tangannya sampai bola itu berpusing cepat sekali di jari telunjuknya.

“Oh, diam kau.” sahut Alan, kembali melirik kakek itu tapi kakek tua itu telah lenyap, seperti baru di telan bumi. “Hey, kemana perginya orang itu? dia hilang begitu saja.” serunya, menengok kanan dan kiri mencoba mencari kemana perginya kakek itu.

“Yeah, kau betul, kemana perginya, ya, dia?” gumam Jack. “Apa kau pikir dia hantu?”
“Tidak mungkin, tadi aku melihat kakinya, kok.” kata Alan tegas

“Ee... sebaiknya kita pergi saja, sobat, ya, hari sudah mulai gelap.” ujar Jack tampak sedikit cemas, celingukkan, mengangkat tasnya ke bahu, dan kemudian mereka pun meninggalkan lapangan yang kini kosong.

***

Pada hari-hari berikutnya Alan sudah melupakan pertemuan dengan kakek misterius itu, namun jika Alan berpikir bahwa dia tidak akan bertemu lagi dengan kakek itu, dia salah. Kakek itu muncul lagi waktu Alan sedang berjalan sendirian di N 7nd Ave menuju ke Sharon Ave, kakek tua itu muncul dari balik pohon besar di ujung jalan, berdiri dan menatap tajam Alan dengan mata orangenya yang memancarkan kebencian. Alan menengok ke kanan dan kiri untuk melihat apakah ada orang di sekitarnya yang bisa dimintai bantuan jika terjadi apa-apa nanti, dan ternyata hanya ada dia sendiri di jalanan itu, tidak ada orang lain disana, dengan perasaan kecut Alan menengok kembali ke tempat kakek itu, tapi kakek tua itu sudah lenyap lagi.

Kecurigaan Alan bertambah besar bahwa kakek itu tidak memiliki iktikad baik pada dirinya, ini di perkuat lagi dengan kakek itu selalu muncul dengan tiba-tiba dimanapun Alan berada dan hilang secara misterius ketika dia mencoba mendekatinya, dan dari semua ini yang paling parah adalah ketika Alan terjaga dari tidurnya karena mimpi-mimpi buruknya, dia melihat kembali kakek itu dari daun jendela kamarnya, berdiri tepat di bawah pohon di depan rumahnya, mata orange kakek itu seolah bercahaya di bawah keremangan malam persis seperti mata kucing di malam hari.
Ini sudah keterlaluan pikir Alan, dia tidak pernah berbuat salah pada kakek itu apalagi mengenalnya, tapi kenapa dirinya selalu diteror seperti ini. Tanpa berpikir panjang lagi Alan langsung berlari keluar kamar, membuat sedikit kegaduhan ketika dia menuruni anak tangga dan secepat kilat berlari melewati ruang tamu dan langsung membuka grendel kunci pintu depan rumahnya. Tapi ketika dia sampai di depan teras rumahnya dengan napas agak tersengal, kembali Alan berhadapan dengan sebuah pohon tepat kira-kira satu menit yang lalu kakek itu berdiri di bawahnya, namun kembali lagi sekarang dia telah lenyap sama seperti sebelumnya.

Selama hampir lima menit Alan berputar-putar di sekitar halamannya untuk mencari jejak kemana hilangnya kakek itu namun semua usahanya sia-sia, dengan enggan dia kembali ke teras rumahnya dan terduduk lemas di bangku yang ada disitu.

Aku tidak mungkin gila, pikir Alan, karena aku memang benar melihat dengan jelas bahwa kakek itu tadi berdiri tepat di bawah pohon, dan Jack juga pernah melihatnya kok, pikirnya dalam hati sambil terus memandang pohon itu berharap kakek itu muncul tiba-tiba di bawahnya.

Mr Sadler dan Mrs Sadler keluar dari dalam rumah dengan tergopoh-gopoh, kedua tangannya menggenggam pemukul Baseball sedangkan isterinya menggenggam sebuah ceret yang tadi diambilnya dari dapur, tampang mereka berdua sangat pucat dan awut-awutan.

“Mana pencurinya, Alan? Katakan padaku dia lari kemana?” tanya Mr Sadler cepat, dengan liar menengok ke kanan dan kiri.

“Apa sebaiknya kita panggil polisi saja, Tom? Aku takut sekali.” cicit Mrs Sadler tampak cemas, berlindung di balik suaminya.

“Tidak ada apa-apa, Mom, Dad… maaf kukira tadi aku melihat seekor ular dihalaman,” kata Alan berbohong. ”Tapi aku tadi sudah memeriksanya dan ternyata yang kutemukan hanya ranting tolol saja.” lagi-lagi Alan berbohong. “Maaf sudah membangunkan kalian berdua.”

“Apa kau yakin, itu hanya sebuah ranting, nak?” tuntut Mr Sadler, masih menatap liar ke kanan kiri halamannya.

“Seratus persen hanya ranting, Dad.” Kata Alan, menatap mantap ayahnya, sebenarnya Alan merasa bersalah sekali karena telah berbohong pada orangtuanya, tapi dia tidak mau membuat orangtuanya bertambah cemas dengan cerita tentang seorang kakek bodoh yang selalu membuntuti dirinya akhir-akhir ini dan selalu lenyap ketika dia mencoba mendekati.

***

“Alan, kau harus melaporkan orang itu ke polisi!” kata Jack serius, setelah Alan menceritakan kepadanya tentang kejadian tadi malam pada waktu jam istirahat makan siang di kantin sekolahnya.

“Tidak, aku tak akan melaporkannya, toh dia belum melakukan apa-apa kan, selain membuntutiku.” gumam Alan, menyuap kentang tumbuk ke mulutnya.

“Tapi itu sudah termasuk pelanggaran privasi namanya dan itu dilarang di negara kita, ada pasalnya kok yang melarang orang untuk memata-matai orang lain.” kata Jack sengit. “Aku kenal seorang polisi yang mungkin bisa membantu kita menangkap orang itu, bagaimana menurutmu?”

“Ya, mungkin itu bisa di jadikan alternatif terakhir jika kakek itu melakukan tindakan yang mungkin membahayakan diriku.” gumam Alan, dia tidak mau dirinya terlihat takut hanya kepada seorang kakek tua di depan Jack, walaupun di dalam hatinya dia merasa agak cemas kalau-kalau kakek itu tiba-tiba muncul sambil menodongkan senjata kepadanya, dan setelah menembaknya dia langsung buru-buru menghilang seperti yang biasa dilakukannya.

“By the way, akhir pekan nanti kau jadi menginap di rumahku, kan?” tanya Jack, menatap Alan tajam-tajam.

“Aku sudah bilang pada Mom dan Dad, dan mereka mengijinkan, jadi tidak ada masalah.” kata Alan santai.

“Bagus kalau begitu, Mom dan Dad pasti senang kau menginap di rumah kami.” seru Jack bersemangat.

“Memang apa sih yang mau kau tunjukan? Sampai-sampai aku harus menginap segala di rumahmu.” tanya Alan, melihat senyum ganjil melintas di wajah Jack.

“Percayalah, Alan, hal ini pantas di tebus dengan nyawamu.” kata Jack misterius.

“Terserah kau saja, semoga yang kau tunjukan nanti tidak benar-benar membuatku sampai terbunuh.” gumam Alan, melirik Aurell yang saja baru masuk ke dalam kantin bersama temannya yang bernama Marrie Sally Estevan, dirinya seperti memiliki semacam firasat bahwa selama sepersekian detik tadi Aurell sempat melirik ke arahnya, tapi yang dilihatnya sekarang Aurell sedang bercanda dengan temannya di bangku mereka yang terletak di sudut kantin, ingin sekali rasanya Alan berpindah tempat dengan Sally dan membayangkan dirinya yang bercanda dan bersenda gurau bersama Aurell.

“Kau sudah selesai dengan makananmu, sobat?” tanya Jack.

“Apa... kau bilang apa tadi?” kata Alan, suara Jack yang vokal baru saja mengaburkan lamunannya yang sedang duduk berdua dengan Aurell.

“Makannya sudah selesai, belum?” ulang Jack, mengerling ke arah Aurell.

“Yah, sudah… aku sudah selesai, kenapa memangnya?” tanya Alan.

“Kalau begitu, ayo cepat kita kembali ke kelas, kurasa aku lupa mengerjakan Pr kimia ku semalam.” kata Jack, seraya berdiri dan mengangkat tasnya ke bahu.

“Oh, baiklah.” gumam Alan malas, ikut bangkit berdiri sambil memandang Aurell dengan perasaan merana.

***

Sabtu sore berikutnya seusai bermain basket mereka berdua berjalan ke rumah Jack yang letaknya tidak jauh dari lapangan tempat Alan dan Jack biasa bermain basket, mereka tiba di sebuah rumah mungil namun terlihat nyaman dengan pekarangan rumah yang di tumbuhi oleh berbagai macam bunga yang terawat dan asri. Jack memimpin di depan dengan menaiki undakan anak tangga teras rumahnya dan langsung membuka pintu, mereka berdua langsung naik ke atas menuju kamar Jack yang di depan pintu kamarnya terpampang tulisan besar-besar yang berbunyi “HANYA LELAKI SEJATI YANG BOLEH MASUK!” alasan yang cukup masuk akal mengingat hanya ada dua laki-laki di rumahnya, yaitu Jack dan ayahnya, Mr Bradley, pikir Alan.

Alan sudah sangat sering main ke rumah Jack selepas pulang sekolah atau sehabis bermain basket, tapi baru kali ini dia mau menginap di rumah sahabatnya tersebut. Semua dinding di kamar Jack di isi dengan begitu banyak poster para pemain basket terkenal seperti Michael Jordan, Shaq O Neal dan masih banyak lagi, satu-satunya ruang dinding itu yang tidak di tutupi poster para pemain basket adalah cermin besar berbentuk oval yang ada di antara lemari dan meja belajarnya.

“Ayo, sekarang tunjukan padaku, barang apa yang mau kau perlihatkan itu?” tuntut Alan , duduk di atas tempat tidur Jack.

“Belum saatnya, sobat.” gumam Jack, tersenyum janggal lagi. “Nanti setelah makan malam, baru aku tunjukan padamu, oke.”

“Yang benar saja!” kata Alan sinis. “Sejak kapan kau mulai main rahasia-rahasian begini?”

“Maaf, Alan... tapi aku memang di amanatkan oleh orang yang memberi benda ini, untuk memberikannya padamu selepas tengah malam nanti.” kata Jack, ada kilatan aneh di matanya.

“Terserah padamu saja,” kata Alan sambil lalu. “Oh ya, aku tidak melihat ayah dan ibumu tadi di bawah, mereka kemana?” tanyanya, menatap Jack yang sikapnya makin lama semakin aneh.

“Dad belum pulang, mungkin dia baru kembali pada saat makan malam, dan Mom mungkin ada di dapur, menyiapkan makan malam.” kata Jack datar.

Alan merasa ada yang aneh dengan sikap Jack satu minggu ini, tidak biasanya dia bersikap serba rahasia begini, apalagi harus memaksa Alan untuk menginap di rumahnya segala. Alasan Alan selalu menolak ajakan Jack untuk menginap di rumahnya adalah karena dia takut kalau Jack bakal mengetahui rahasia terbesarnya, kenyataan bahwa jika dia bermimpi buruk maka tato sayap malaikat di punggungnya pasti akan langsung berpendar mengeluarkan cahaya merah membara, dan jika Jack sampai melihat hal ini, maka Alan sangat yakin Jack akan langsung pingsan saking kagetnya atau yang paling parah Jack tidak mau lagi berteman dengannya, karena menganggap Alan adalah anak aneh yang menakutkan.

Makan malam dirumah Jack bisa dibilang cukup seru dan menyenangkan, Mrs Bradley ibu Jack adalah wanita yang sangat ramah, berkulit gelap sama seperti Jack dengan rambut di kepang kecil-kecil yang menjuntai ke bawah bahunya yang membuatnya kelihatan manis sekali, dan tampaknya Mrs Bradley telah bekerja cukup keras untuk menyiapkan hidangan pada makan malam, karena semua makanan yang ada di atas meja makan terlihat sangat menggiurkan dan nampak lezat. Di depan tempat Alan duduk ada kakak perempuan tertua Jack yang bernama Clarance, dia hampir mirip dengan ibunya versi muda, tinggi jangkung, bahkan orang bisa beranggapan bahwa mereka adalah sepasang adik dan kakak bukannya ibu dan anak, sedikit yang membedakannya mungkin bahwa Clarance memakai kaca mata oval yang membuatnya terlihat agak sedikit dewasa, dan di samping Alan duduk adik perempuan Jack yang paling kecil yang bernama Marieta yang berusia delapan tahun, rambutnya hitam lebat, dan Alan sangat menyukai Marieta, mungkin karena di dasarkan fakta bahwa dia adalah anak tunggal di keluarganya, sehingga dirinya tidak pernah merasakan memiliki seorang adik, maka dia sudah menganggap Marieta sebagai adiknya sendiri, Mr Bradley belum pulang kerumah.

“Alan, senang sekali kau mau menginap di rumah kami.” kata Mrs Bradley, “Dan bagaimana kabar ayah dan ibumu? Apakah mereka baik-baik saja?” tanyanya sembari tersenyum.

“Iya, Mrs Bradley, mereka baik-baik saja dan Mom dan Dad kirim salam, mereka minta maaf karena belum bisa berkunjung kemari.” kata Alan, sambil bercanda dengan Marieta.

Alan sedang menyendok domba panggang ke piringnya saat terdengar ketukan pelan di pintu depan dan suara pintu menggeser terbuka, seorang laki-laki paruh baya masuk ke dalam dapur, berbadan gemuk dengan rambut plontos sama seperti Jack, berkulit gelap dan memiliki wajah kebapakan.

“Kau sudah pulang, Will.” sapa Mrs Bradley kepada suaminya “Ayo, makanlah sebelum dingin.”

“Tentu saja, sayang... aku lapar sekali.” kata Mr Bradley, mengecup sayang pipi isterinya dan langsung duduk di meja makan. “Ah, Alan, bagaimana makanannya, enak?” katanya melirik ke arah Alan.

“Tentu, Mr Bradley, masakan isteri anda, sangat luar biasa.” kata Alan, tersenyum kepada Mrs Bradley.

“Dari dulu kau memang pintar memuji, Alan. Sama seperti ibumu, dia adalah wanita yang luar biasa.” sambut Mrs Bradley tersenyum malu.

Seusai makan malam Alan dan Jack pergi ke atas kembali ke kamar Jack dengan perut kekenyangan, setibanya di kamar Alan langsung melempar tubuhnya ke atas kasur sambil mengelus sayang perutnya.

“Kau tahu, Jack... chipolata buatan ibumu itu enak sekali.” gumam Alan, memejamkan matanya.

“kurasa begitu.” kata Jack datar.

“Tadi katamu, kau mau menunjukan sesuatu padaku, mana?” seru Alan, berbalik menghadap Jack yang berdiri di ambang jendela sambil menautkan kedua tangannya di dada.

“Kau yakin, sudah betul-betul siap melihatnya?” tanya Jack serius, menatap tajam Alan yang menopang kepalanya dengan tangan di atas tempat tidur.

“Sudahlah, jangan bertele-tele.” kata Alan gusar.

“Baiklah kalau begitu, tunggu sebentar.” gumam Jack, melangkah mendekati lemari kemudian membukanya dengan satu tangan, dia mengambil sebuah kotak hitam kecil persegi panjang yang di ikat dengan sebuah tali berwarna merah, setelah itu berjalan ke arah Alan dan berdiri di hadapannya dengan canggung. Pikiran pertama yang melintas di benak Alan adalah apa isi dari kotak itu.

“Apa itu?” tanya Alan, menatap kotak di depannya.

“Sekitar satu minggu yang lalu, Aurell datang menghampiriku saat aku sedang bermain basket sendirian di lapangan. Kami bicara banyak hal dan tentu kau yang menjadi pokok pembahasan kami saat itu, dia juga menceritakan tentang pertemuan kalian yang terakhir dan Aurell mengatakan bahwa dia sangat menyesal karenanya, dan karena aku satu-satunya sahabatmu dan yang paling dekat denganmu, tentunya, maka Aurell menitipkan kotak ini kepadamu, buddy.” kata Jack, memberikan kotak kecil itu kepada Alan dan kembali berdiri di ambang jendela.

Alan tidak bisa mempercayai apa yang baru saja di dengarnya, dia bahkan merasa pikiran dan hatinya baru saja pergi meninggalkan tubuhnya, karena saat ini dia merasa benar-benar kosong. Perlahan Alan mulai mengurai pita merah yang membelit indah kotak itu dan dengan kegugupan yang luar biasa mulai membuka kait yang ada di bagian tengah kotak pelan-pelan, ternyata di dalam kotak kecil itu ada sepucuk surat dengan kertas berwarna merah jambu dan sebuah buku dengan sampul berwarna biru, Alan meraih buku itu dan betapa terkejutnya dia mendapati foto dirinya tertempel di halaman buku itu dengan dihiasi lukisan gambar love di setiap sisi foto dirinya. Lalu dia meletakan buku itu dengan hati-hati di sampingnya dan mengambil surat berwarna merah jambu dan dengan memejamkan mata, Alan mulai membuka lipatan kertas yang ada di dalam surat dan setelah merasa yakin bahwa jantungnya tidak akan terjun bebas ketika membaca kalimat pertama yang ada di surat yang memang di tujukan untuknya dari wanita yang paling dicintainya, perlahan Alan mulai membuka kedua matanya.


Dear Alan
Semoga kau baik-baik saja, dan maafkan aku karena aku tidak bisa menemukan cara lain untuk menyampaikan hal ini padamu selain dengan jalan ini.
Alan, aku tahu bahwa kau pasti sangat kecewa dengan jawabanku tempo hari, aku sangat sedih waktu ayahku memberitahukan padaku bahwa aku harus bertunangan dengan laki-laki yang bernama Louis, aku bahkan tidak mengenalnya, kami hanya baru bertemu satu kali. Dan kau harus tahu bahwa aku tidak mencintainya, sama sekali tidak... karena aku telah menemukan orang yang aku cintai yaitu kau Alan, dan aku ingin agar kau mengetahui perasaanku yang sebenarnya, sejak pertama aku menyadari bahwa aku mencintaimu, dengan memberimu buku harian yang selama tiga tahun ini kutulis. Di dalam buku itu kau akan temukan semuanya tentang diriku, dan bagaimana cara aku mencintaimu selama tiga tahun ini, hingga alasan mengapa aku menerima dengan pasrah pertunangan ini.
Aku sadar bahwa ini adalah keputusan yang akan mengakhiri segalanya tentang harapanku padamu, karena di satu sisi aku tidak bisa menolak permintaan orangtuaku dan di sisi yang lain aku bersedia menyerahkan apapun yang aku miliki agar bisa terus bersamamu. Namun, betapapun aku ingin membuat kedua sisi itu bersatu, aku sadar bahwa aku tidak mungkin mendapatkan dua hal yang aku inginkan dalam waktu yang bersamaan.
Aku punya satu permintaan padamu Alan dan untuk yang terakhir kalinya, karena ada satu hal lain lagi yang ingin aku sampaikan padamu, tapi tidak di dalam surat ini... Alan, maukah kau datang menemuiku pada tanggal 19 maret nanti? Aku akan menunggumu di tempat pertama kali kita bertemu, yaitu di taman kota, di bawah tugu ibu dan anak tepat pada jam 12.00 AM tengah malam.
Aku mohon, Alan, aku mohon datanglah...
Aku menunggumu...
Love swett regart
Aurellia Evaline Swan


Alan mengadahkan kepalanya menatap Jack, “Tanggal—sembilan—belas.” katanya dengan suara agak tercekik sehingga kedengarannya seperti bukan suaranya. “Dan sekarang tanggal...”

“Delapan belas, dan tepat tengah malam nanti tanggal sembilan belas.” sahut Jack, matanya menatap tajam Alan.

Sejenak Alan menunduk menatap suratnya kembali dan kemudian langsung mengangkat kepalanya lagi lalu berkata. “Tapi—tapi bagaimana kita keluar dari sini? Orangtuamu pasti tidak akan mengizinkan dan... dan bagaimana...” Alan tidak sanggup bertanya bagaimana Aurell bisa keluar dari rumahnya pada jam segitu, tanpa membuat orangtuanya curiga.

“Aku dan Aurell sudah merencanakan semuanya, sobat.” kata Jack tersenyum, “Tentu kau bertanya mengapa aku mengajakmu untuk menginap malam ini di rumahku, bukan? Aku tak hanya sekedar memberikan bingkisan yang dititipkan Aurell padamu, tapi aku sudah mempersiapkan segalanya, nanti tepat pada tengah malam kita menyelinap keluar dari sini dengan menggunakan ini.” Jack menunjukan tali tambang yang sudah terangkai menjadi semacam anak tangga di tangannya. “Karena tentu kita tidak akan menyelinap keluar dari rumah dengan melalui pintu depan, terlalu beresiko karena bisa-bisa kita nanti kepergok dengan Mum atau Dad di bawah. Sedangkan Aurell, tentu saja dia tidak akan di izinkan oleh orangtuanya untuk keluar malam-malam begini, dan jika dia sampai tertangkap sedang menyelinap keluar, sudah pasti rencana kita akan berantakan semuanya. Maka dari itu malam ini dia menginap di rumah temannya—Marie Sally Estevan dan untungnya Sally dengan senang hati bersedia menyelundupkan Aurell pada tengah malam nanti dari rumahnya untuk bertemu dengan kau. Jadi intinya Alan, situasi saat ini, sudah terkendali.”

“Jack... aku—aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa...” sendat Alan, memandang Jack seolah dia baru pertama kali melihat sahabatnya berdiri di ambang jendela.

“Sudahlah, sobat.” kata Jack, menghampiri sahabatnya dan merangkul pundaknya. “Jika aku ada di posisimu saat ini, tentu kau akan melakukan hal yang sama kepadaku.”

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. just one word for alan and aurell.... congratulation,,,,
    meskipun q tidak tau seperti apa kelanjutan cerita yang luar biasa ini,,, tp q yakin...
    cinta tidak akan pernah melawan takdir,
    apapun yang terjadi kekuatan takdir lebih dahsyat lagi...
    q seneng melihat alan yang sangat menegerti dan melihat aurel yang terus terang,,,,

    apapun yang terjadi meeka harus berysukur,,, karena ada RASA diantara mereka,,,,

    tidak seperti q,,,

    tp q pun patut bersyukur karena q dipertemukan dengan dia,,,,
    dia yang berpribadi hangat dan menenangkan,,,,

    dan saat ini q senang,,, bisa kembali seperti biasa,,,
    tanpa ada apapun diantara kami,,,

    dia sangat menegerti ketololanku,,,, dan q seneng karena dia selalu menyuruhku santai saja,,,
    dan sekarang q belajar santai tanpa q melambungkan harapan yang besar lagi kepadanya,,,,
    dan q ingin dia mendapat yang sangat luar biasa daripada q,,,, wish him all the best

    BalasHapus