sepp

Rabu, 14 Juli 2010

BAB I

Mimpi Yang Menjadi Kenyataan

Matahari mulai merekah pada selasa pagi yang hangat di Mainfreed Town, New Jersey. Dan belaian lembut Mrs Sadler perlahan membangunkan Mr Sadler dari tidurnya yang lelap.
“Tom... bangunlah, sudah pagi, nanti kau akan terlambat ke kantor jika tidak lekas bangun.” ujar Mrs Sadler lembut, kepada suaminya.
“Ehmm... yeah...”
Dan usai mengecup pipi Mr Sadler, lalu Mrs Sadler pun beranjak meninggalkan kamar mereka.
Matahari sudah benar-benar terbit sekarang, lingkaran jingganya muncul dari atas bingkai jendela kamar, sinarnya yang lembut menerangi sebuah foto usang terawat yang berdiri di tengah meja yang di dalamnya terukir wajah-wajah bahagia yang menggoda saat pesta perkawinan Mr dan Mrs Sadler yang sedang berada di tengah lautan teman-temannya yang ikut tertawa bahagia bersamanya.
Hari-hari yang dilalui Mr Sadler sebenarnya terhitung biasa pada masyarakat umumnya, dirinya tinggal bersama isterinya yang begitu di cintainya di sebuah kota kecil yang bernama Mainfreed Town, New Jersey. Mereka pembayar pajak yang baik dan terbilang tetangga yang cukup ramah di lingkungan perumahan mereka.
Keseharian Mr Sadler hanya di isi dengan bekerja dan terus bekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi sepatu, yang bernama Great Shop. Dirinya cukup beruntung, karena pengabdiannya selama hampir dua puluh tahun di perusahaan itu telah mengantarkannya ke posisi sebagai manajer operasional, dan isteri Mr Sadler, Mrs Sadler, bisa di bilang sebagai wanita tercantik di lingkungan perumahan mereka, untuk ukuran wanita yang sudah berumur di atas empat puluh tahun, dengan rambut pirang bergelombang dan memiliki wajah yang cukup eksotis, penampilannya yang selalu membangkitkan rasa hormat sering membuat dirinya terpilih sebagai ketua dalam berbagai kegiatan amal maupun himpunan kalangan ibu-ibu yang ada di lingkungan perumahan mereka.
Dan pada dasarnya keluarga Sadler adalah keluarga yang bahagia dan harmonis, bahkan bisa di bilang nyaris tidak seorang pun di lingkungan itu yang pernah melihat mereka bertengkar, ini dikarenakan setiap hari-hari yang mereka lalui selalu di isi dengan saling pengertian antara keduanya.
Namun terlepas dari itu semua ada satu kekurangan yang menghinggapi keluarga itu, sebuah ketiadaan yang selalu membuat Mr Sadler berjam-jam tidak tidur pada malam harinya—keluarga Sadler telah menikah hampir selama delapan belas tahun, akan tetapi sampai detik ini mereka belum juga di karuniai satu anak pun. Tapi meskipun begitu dirinya tidak pernah menyinggung hal ini, karena dia tahu bahwa isterinya, Mrs Sadler, pasti akan langsung menangis dan baru berhenti setelah berjam-jam lamanya—jika Mr Sadler sampai keceplosan memberitahukan perihal kegundahan hatinya ini pada isterinya.
Dan tadi malam Mr Sadler kembali terjaga dalam tidurnya, sewaktu jam sudah menunjukan pukul tiga pagi. Seketika itu juga rasa kantuknya langsung hilang, tatkala dirinya mengenang saat-saat terakhir dalam mimpinya barusan. Dimana dalam mimpi itu dirinya lagi-lagi di hadirkan kembali bersama seorang anak laki-laki kecil berambut hitam lurus persis seperti rambutnya yang tengah bermain bersama dirinya. Tapi yang lebih istimewa dari mimpi itu—yang membuat sebagian dari dirinya tidak ingin jika mimpi itu harus berakhir, di karenakan anak berambut hitam dalam mimpinya itu selalu memanggil dirinya dengan sebutan ayah. Hingga tak terasa tatkala dirinya usai bermimpi tadi malam dari wajah yang cekung dan menyiratkan kelelahan itu bergulir setitik air mata—linangan air mata yang tidak hanya sekali menghiasi lekuk pipi cekungnya, karena mimpi seperti ini tidak hanya satu dua kali menghinggapi sela-sela tidurnya dalam setiap malamnya.
Perlahan Mr Sadler mulai membuka matanya, dan setelah menghela napas yang panjang dia pun bangkit meninggalkan kamar.
Dari dalam dapur Mrs Sadler yang bersih sudah tercium aroma sosis panggang yang cukup mengudang air liur, dan dilihatnya isterinya sedang menyiapkan menu makan paginya yang berupa daging asap, roti panggang dan sosis panggang yang berminyak dan besar-besar.
“Apa kau akan pulang larut lagi malam ini, Tom?” tanya Mrs Sadler sambil mengoleskan roti dengan mentega dan menaruhnya di piring suaminya.
“Tidak, tentu saja tidak, Joane sayang.” kata Mr Sadler lembut “Mr Eisenbud rupanya telah menyadari, kenapa akhir-akhir ini pemasaran sepatu kami menurun omzetnya.”
“Memangnya apa yang terjadi?” tanya Mrs Sadler, melirik suaminya.
“Yah, menurutnya model-model sepatu kami sudah ketinggalan jaman dan kalah bersaing dengan merek-merek baru—yang sudah pasti memiliki desain yang lebih moderen, katanya.” gumam Mr Sadler sambil memasukan sosis terakhir di piringnya ke dalam mulutnya.
“Oh, begitu...”
“Baiklah, Joane, aku harus pergi sekarang, karena kalau tidak Mr Eisenbud akan langsung memarahiku, jika aku sampai terlambat sedetik saja.” senyum Mr Sadler, beranjak bangkit dari kursi meja makan.
Selesai Mrs Sadler merapikan dasi suaminya, dia lalu mengambil tas kerja Mr. Sadler yang ada di sudut ruangan dan memberikan tas itu kepada suaminya.
“Trims, dear.” gumam Mr Sadler, sembari mengecup pipi istrinya.
“Hati-hati di jalan, Tom.” ujar Mrs Sadler.
“Tentu saja, bye darling.” sahut Mr Sadler, berjalan menuju mobilnya.
Setelah berada di dalam mobil, Mr Sadler kembali teringat akan mimpinya tadi malam dan hingga agak melamun ketika mengendarai mobil—terlalu asik dengan fantasi dalam mimpinya, sampai-sampai dia hampir saja menabrak penjual ice cream keliling yang sedang memakirkan mobilnya di pinggir jalan. Untung tidak sampai terjadi kecelakaan, karena dirinya langsung tersadar dan sigap hingga berhasil membelokkan mobilnya pada saat yang tepat. Mr Sadler menepikan mobilnya sejenak, memejamkan mata dengan tangan mencengkram kuat pada kemudi setir, “Aku harus kuat...” gumam Mr. Sadler kepada dirinya sendiri. Dan setelah itu dia melanjutkan lagi perjalanannya.

Dan saat dirinya tengah memasuki gedung kantor dan berjalan di dalam koridor yang mulai ramai dengan pegawai yang baru berdatangan, Mr Sadler langsung menghentikan langkahnya seraya menengok ke belakang—ada orang yang tengah memanggil-manggil namanya.
“Tom... tunggu... tunggu sebentar...” seru suara laki-laki di belakangnya.
Tampak seorang laki-laki agak gemuk setengah berlari ke arahnya.
“Ada apa, Grill? Kenapa kau terburu-buru, begitu?” tanya Mr Sadler keheranan.
“Oh, Tom... aku mencarimu kemana-mana dari tadi, kau tahu.” sengal pria yang bernama Grill, mengurut dadanya, tampak wajahnya yang bundar agak sedikit berkeringat.
“Memangnya ada apa, Grill?” tanya Mr Sadler, mengulang kembali kata-katanya dan menatap heran pada Grill.
“Mr Eisenbud... dia menunggumu di ruangannya... dia ingin bertemu denganmu...” kata Grill, masih berusaha mengatur nafasnya, yang naik turun tidak normal.
“Mr Eisenbud,” ulang Mr Sadler. “Ada perlu apa dia denganku?” ujarnya, sekarang benar-benar heran.
“Aku tidak begitu tahu... tapi kelihatannya dia senang sekali, dan kalau kau tanya padaku, sepertinya ini tentang hasil presentasimu tempo hari... sekarang sebaiknya kau cepat pergi menemuinya, karena kalau tidak nanti dia akan memarahiku lagi, ayo cepat...” seru Grill sengit, setengah mendorong Mr Sadler.
“Kuharap ini berarti kabar baik seperti yang kau bilang tadi... dan oya, terimakasih, Grill.”
Mr Sadler pun langsung pergi meninggalkan Grill yang masih mengurut-urut dadanya.
“Terburu-buru, Tom?” sapa seorang wanita jangkung yang tengah membawa setumpuk map di tangannya.
“Ada sedikit urusan, Terry.” ujar Mr Sadler, tersenyum ramah. “Ya, tadi Grill bilang, aku di panggil oleh Mr Eisenbud ke ruangannya, apakah kau tahu ada apa, Terry?”
“Oh, begitu...” ujar wanita yang bernama Terry, wajahnya menyiratkan pemahaman. “Semoga sukses Tom, kudengar dia akan berencana mempromosikanmu, loh.”
“Benarkah begitu yang kau dengar, Terry?” kata Mr Sadler antusias, senyum merekah di wajahnya.
“Seratus persen.” jawab Terry, kalem.

Mr Sadler terus berjalan sampai ke ujung koridor, berhenti di depan sebuah pintu, dan mengetuk pelan sampai tiga kali.
“Ya, masuk...” ujar suara di dalam ruangan.
Dengan sedikit canggung Mr Sadler membuka pintu di depannya dan masuk ke dalam ruangan yang cukup besar, dimana ada jendela yang tirainya agak terbuka untuk membiarkan sinar matahari masuk ke dalam, dan terdapat juga ruangan untuk tamu dengan tiga buah kursi berlengan empuk dan nyaman. Dinding-dinding di ruangan itu dihiasi oleh bingkai-bingkai berisi foto model-model sepatu, dan di sudut paling tengah ruangan duduk seorang pria besar gemuk nyaris tanpa leher, dengan wajah bundar dan berkepala botak, tampak sedang sibuk menulis sesuatu di atas meja kerjanya, namun ketika dia menengok untuk melihat siapa yang datang.
“Ahh, Thomas...” seru pria besar itu berdiri dan langsung menjabat tangan Mr Sadler. “Aku sudah menunggumu dari tadi, kau tahu.”
“Anda memanggil saya, Sir?” ujar Mr Sadler gugup.
“Ya, tentu, tentu, silakan duduk.” ujar Mr Eisenbud ceria. “Begini, Tom, kau tahu presentasimu pada hari jum’at yang lalu itu benar-benar sangat bagus, dan Mr Tredget sangat puas sekali, terutama pada gambar desain-desain sepatu yang kau ajukan—dia menyukainya, dan beliau berpendapat jika sepatu-sepatu itu diluncurkan ke pasaran, tentu akan mendapat respon yang sangat positif sekali dari para customer kita. Maka dari itu, tentunya jika kau tidak keberatan, ya, Mr Tredget ingin menunjukmu sebagai manajer produksi yang baru, untuk menggantikan Mr Gueswelle yang akan pensiun beberapa bulan lagi, bagaimana menurutmu, Tom?”
Eksperesi Mr Sadler langsung berubah dari kebingungan menjadi kegirangan. “Anda serius, Sir?” serunya tidak percaya.
“Ya, apa ada masalah dengan hal itu?” kata Mr Eisenbud, wajahnya agak sedikit mengernyit.
“Tidak, tentu saja tidak, Sir.” kata Mr Sadler masih tidak bisa menyembunyikan kegirangannya.
“Dan sebagai tambahan dari Mr Tredged, beliau berencana akan memberikan bonus padamu, berupa liburan selama satu minggu di danau Michigan, sebagai ucapan terimakasih karena telah membantu memberikan solusi kepada perusahaan di saat keadaan genting seperti ini, bagaimana, Tom?” tambahnya sembari tersenyum.
“No way! Anda pasti bercanda, Sir...”
Wajah Mr Sadler sekarang sudah seperti orang yang baru pertama kali mendarat di bulan, dia begitu terpana sampai hanya bisa ternganga menatap tidak percaya pada Mr Eisenbud yang menatapnya balik sambil tersenyum simpul.
“Kau tahu aku orang yang tidak suka bercanda, Tom.” seru Mr Eisenbud, telah kembali kesikapnya yang serius. “Nah, kuharap kau bisa terus memberikan ide-ide cemerlang kepada perusahaan ini. Baiklah Tom, sekali lagi selamat atas posisi baru dan liburan yang pasti menyenangkan.” tambahnya sembari berdiri dan menjabat lagi tangan Mr Sadler yang masih tampak agak terguncang menerima kabar bahagia ini.

Segera saja selepas jam kerja usai Mr Sadler langsung keluar dari gedung kantor dan memacu mobilnya secepat dia bisa, untuk segera sampai ke rumah dan memberitahukan berita bahagia ini kepada isterinya.
“Joane... Joane, kau ada dimana?” teriak Mr Sadler, sembari masuk ke dalam rumah.
“Aku ada di dapur Tom, dan kenapa kau berteriak-teriak seperti itu?” tegur suara Mrs Sadler, yang beberapa saat kemudian muncul dari bilik dapur. “Ada apa, Tom? Kau kelihatannya senang sekali.” gumamnya heran, melihat suaminya berlonjak-lonjak kegirangan di depannya.
“Kau tidak akan percaya hal ini, Joane.” seru Mr Sadler bersemangat “Tadi pagi aku di panggil keruangan Mr Eisenbud, dan kau tahu, dia bilang padaku bahwa Mr Tredget menunjukku sebagai manajer produksi yang baru menggantikan si tua Gueswelle, dan kau tahu apa yang paling membuatku senang? Mr Tredget juga memberikan bonus padaku berupa liburan selama satu minggu penuh di danau Michigan!” tambahnya sedikit berteriak.
“Yang benar... oh, Tom, aku senang sekali mendengarnya.” kata Mrs Sadler dengan suara teredam, sembari merengkuh suaminya ke dalam pelukannya.
“Aku tidak akan seperti ini, jika kau tidak membantuku mengembangkan bahan untuk presentasiku tempo hari, dear.” puji Mr Sadler, mengecup kening istrinya.
***
Hari yang mereka tunggu pun tiba, dimana keluarga Sadler akan menghabiskan waktu selama satu minggu penuh liburan mereka di danau Michigan yang indah juga menawan, dan ketika Mr dan Mrs Sadler terbangun pada hari senin pagi yang cerah saat kisah kita ini baru dimulai, Mr Sadler tengah bersenandung riang sewaktu dia memasukan koper-koper yang penuh dan berat ke dalam bagasi mobilnya, dan isterinya, Mrs Sadler, sedang mempersiapkan bekal mereka untuk di perjalanan nanti di meja makan ruang dapurnya.
Tidak tampak akan terjadi hal-hal aneh ataupun misterius pagi ini, langit tampak cerah dan tidak berawan, burung-burung pun bernyanyi dengan riang ketika mencari cacing serta biji-bijian favorit mereka di pekarangan rumah Mr Sadler yang terawat dan asri.
Pukul setengah sembilan Mr dan Mrs Sadler pun berangkat meninggalkan rumah mereka yang nyaman menuju tempat liburan mereka di danau Michigan, perjalanan menuju danau Michigan di tempuh hampir selama tujuh jam, dua kali mereka berhenti untuk sekedar mengisi bensin ataupun beristirahat sambil menikmati bekal yang dibawa oleh Mrs Sadler. Maklum Mr Sadler kini sudah tidak muda lagi, di tambah tadi malam dia tidur larut sekali karena asik membayangkan betapa menyenangkannya jika dalam liburan kali ini, dirinya di temani anak laki-laki berambut hitam lurus yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya, mungkin dia bisa bermain-main dengan anak itu di pinggiran danau, atau sesekali memancing ikan dengan menggunakan sampan sampai ke tengah danau.
Hari sudah menjelang sore ketika mereka sampai di pondok penginapan (Mr Sadler sudah memesan penginapan itu dari jauh-jauh hari sebelumnya), mereka berdua sangat puas sekali, karena pondok penginapan yang mereka dapatkan ini hanya berjarak beberapa meter saja dari tepi danau.
Dengan bersemangat Mr Sadler langsung menurunkan koper-koper mereka dari dalam bagasi mobil dan membawanya masuk ke dalam pondok, sementara Mrs Sadler berjalan mendekati tepi danau, kedua tangannya terlipat ke dalam dadanya, sorot matanya yang biasanya terlihat tegar kini tergantikan dengan pandangan nanar berselaput pilu. Di lihatnya permukaan danau yang berkilat-kilat indah di tempa sinar matahari sore, dengan perasaan sedikit merana, dirinya kemudian menarik nafas panjang-panjang dan menghelanya sambil menundukan kepala menatap tepian air danau di kakinya.
Tanpa di sadari olehnya, sebuah tangan muncul dari belakang pundaknya dan merengkuh leher dan dadanya “Kau baik-baik saja, Joane? Selama perjalanan tadi wajahmu murung terus, apa yang sedang mengganggu pikiranmu, sayang?” tanya Mr Sadler, mengecup bagian belakang kepala isterinya.
“Ohh, Tom... kau tentu sudah tahu, apa yang selama delapan belas tahun ini mengganggu pikiranku...” keluh Mrs Sadler, menggenggam erat siku suaminya yang tengah merangkul dirinya. “Tapi entah mengapa, mendadak perasaan ini begitu kuat akhir-akhir ini, seolah aku tidak sanggup menahan rindu ini terlalu lama, dan rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk sekedar melepaskan sesuatu yang mengganjal hatiku selama ini, Tom.” tambahnya setengah meratap, bibirnya yang tipis bergetar seakan dia mau menangis.
“Iya, aku tahu, Joane... tapi sekarang kita harus kuat, karena bagiku, semua ini pasti ada hikmahnya, dan aku pasti akan keliru sekali, jika Tuhan tidak punya maksud dengan semua ini.” kata Mr Sadler lembut, mengencangkan pelukannya pada isterinya.
Mrs Sadler sedikit tertegun, matanya masih menatap kosong pada hamparan danau di depannya.
“Kurasa kita tidak mungkin semalaman di pinggir danau seperti ini, bukan.” ujar Mr Sadler dengan nada jenaka. “Aku harus membereskan isi dari koper-koper itu sebelum makan malam, dan kalau kau cukup tega untuk melihatku bebenah sendirian dengan koper-koper berat itu, ya, kurasa aku tidak begitu keberatan.” guraunya, melepaskan pelukannya dan membalikkan tubuh Mrs Sadler agar menghadapnya, kemudian mengecup kembali kening isterinya.
“Joane, semua akan baik-baik saja, apa kau percaya padaku?” kata Mr Sadler lembut di telinga isterinya, ketika memeluknya kembali.
“Aku percaya.” gumam Mrs Sadler di balik dada suaminya.
Lima belas menit kemudian mereka berdua pun berjalan menuju pondok dengan tangan Mr Sadler masih merangkul erat bahu isterinya. Makan malam mereka malam itu di penuhi dengan sedikit kehebohan, karena rupanya Mr Sadler sudah salah membawa satu buah koper, yang ternyata tidak berisi pakaian gantinya untuk selama satu minggu, melainkan peralatan golf lengkap berikut stiknya, “Pantas koper itu berat sekali, waktu aku mengangkatnya ke bagasi mobil” gerutu Mr. Sadler menyendok pai ayam, setumpuk daging asap dan kentang tumbuk ke atas piringnya yang tadi dibawa isterinya dari rumah.
Sementara itu, sehabis makan malam Mr dan Mrs Sadler duduk di depan beranda pondok mereka yang dinaungi oleh langit malam yang jernih dan bertabur bintang-bintang dan bulan yang cahayanya di pantulkan kembali lagi oleh permukaan danau yang halus, sehingga mengkanvaskan pemandangan yang sangat indah sekali di permukaan danau. Angin sepoi yang hangat bertiup dari jalan setapak membelai pepohonan yang ada di sekitarnya sehingga bergemerisik merdu, mengundang jangkrik-jangkrik untuk ikut bernyanyi bersamanya.
Dan tanpa peringatan sama sekali, sebuah meteor melesat menghujam ke arah mereka dari langit yang tidak berawan, dan secara refleks Mr Sadler merenggut tubuh isterinya untuk melindunginya dari kemungkinan terburuk, debu-debu langsung berterbangan ketika bola cahaya itu menyentuh bumi hingga getaran yang di timbulkannya cukup untuk membuat kaca-kaca pecah dan meja serta kursi yang di teras bermentalan ke segala arah.
Beberapa saat kemudian ketika hujan debu itu sudah mulai berangsur-angsur hilang, kemudian pelan-pelan Mr Sadler mulai melepaskan pelukannya dari isterinya.
“Kau tak apa-apa, Joane?” seru Mr Sadler panik bukan main.
“Iya, aku baik-baik saja, apa itu barusan, Tom? Aku takut sekali...” cicit Mrs Sadler wajahnya sangat pucat dan rambutnya penuh debu.
Perlahan lalu Mr Sadler bangkit sembari memapah isterinya untuk membantunya berdiri. ”Aku tidak tahu benda apa itu... tapi, sepertinya ada suara dari dalam benda itu, Joane...” sengal Mr Sadler, yang jantungnya berdegub di luar kewajaran, lututnya yang sedikit menonjol bergetar hebat seperti tak mampu menopang berat tubuhnya.
Benda yang tadi tampak seperti meteor itu meninggalkan lubang sedalam dua meter dengan lebar tiga meter di permukaan tanah, tepat di depan pondok, terlihat bagian depannya yang seperti nampaknya sebuah pintu agak sedikit terbuka beberapa senti—benda asing ini bentuknya begitu mirip dengan bola baseball berukuran raksasa yang mungkin cukup muat bila masuki oleh satu orang dewasa sekalipun, dan terlihat jelas dari permukaan benda asing ini mengepul beberapa asap putih tipis yang bergulung-gulung di udara. Mr Sadler sempat bertanya dalam hati, apakah ini adalah salah satu pesawat Alien yang mendarat di bumi untuk menjajah manusia.
“Tetap disini, Joane!” gumam Mr sadler waswas, sambil mengawasi benda aneh di depannya yang masih mengepulkan asap, wajahnya hampir sama pucatnya dengan lilin yang meleleh. Tanpa disadari kakinya melangkah mendekati benda misterius, lebih berani dari pada yang dia perkirakan.
“Kau mau kemana, Tom? Jangan coba-coba mendekati benda gila itu!” desis Mrs Sadler mengancam.
Dengan memungut sepotong kayu yang ada di sebelah kakinya, Mr Sadler berkata, “Tidak apa-apa, Joane, aku cuma ingin memeriksanya, sepertinya aku mendengar ada suara bayi dari dalam situ.”
“Tom...” desah Mrs Sadler gelisah.
Kemudian dengan takut-takut Mr Sadler mulai mendekati benda elips keperakkan yang masih teronggok dan mengeluarkan asap. Dengan jantung yang berdegub liar dia mencoba membuka pintu pada pesawat yang sudah agak terbuka sedikit, dan alangkah terkejutnya dia ketika mendapati seorang bayi laki-laki yang benar-benar bayi manusia tengah menangis dan dibalut oleh sehelai jubah berwarna hijau jambrut yang sangat indah, dan anehnya lagi saat mata bayi itu bertatapan dengan mata Mr Sadler, ajaibnya bayi itu langsung terdiam, tidak menangis lagi. Usia dari bayi misterius ini mungkin tidak lebih dari lima bulan, kulitnya putih seperti susu dan rambutnya hitam lurus seperti rambut Mr sadler dan yang lebih mengherankan bola mata bayi ini tidak seperti mata manusia pada umumnya—berwarna orange terang persis seperti mata elang.
Lama Mr Sadler tertegun mengamati bayi rapuh yang tampaknya tidak berbahaya, dan secara menggemaskan lalu bayi itu kemudian menghisap ibu jarinya sendiri. Melihat hal yang tidak terduga ini, dan sangat berbeda dari apa yang di bayangkannya sebelumnya, Mr Sadler tiba-tiba tersenyum hangat sambil terus mengamati sosok bayi lucu itu.
Suara Mrs Sadler membuyarkan lamunannya. “Kau baik-baik saja, Tom? Kenapa kau diam saja seperti itu? Apa yang ada di dalam situ? Apakah ada alien? Jawab aku, Tom?” pekik Mrs Sadler ketakutan.
Tanpa berpikir panjang lagi, Mr Sadler langsung merengkuh bayi yang ada di depannya ke dalam pelukkannya dan mengangkatnya keluar dari benda bulat yang tampaknya mirip seperti pesawat ulang-alik mini para alien yang berfungsi untuk menembus galaksi.
“Kau tidak akan percaya apa yang kutemukan disini, Joane.” gumam Mr Sadler, berbalik menghadap isterinya yang seluruh tubuhnya begetar dari ujung kaki sampai kepala. “Lihatlah, Joane... apa yang aku temukan... lihat, seorang bayi laki-laki yang tampan...” senyum mengembang di wajah Mr Sadler, dengan bersemangat dia menggendong bayi itu menuju ke isterinya yang langsung mendekapkan mulutnya dengan kedua tangannya.
“A—apakah yang ada di tanganmu itu, benar-benar bayi manusia, Tom?” rintih Mrs Sadler waswas.
“Tentu saja, dan kalau kau tanya padaku, dia adalah anak laki-laki paling tampan yang pernah kulihat.” gumam Mr Sadler sengau, mendekati isterinya dan memperlihatkan bayi temuannya. “Lihatlah sendiri, dia manis sekali bukan? cobalah untuk menggendongnya, Joane.” tambahnya, memberikan bungkusan jubah berwarna hijau jambrut yang berisi bayi kepada isterinya yang masih kelihatan tampak terguncang.
Hal yang sama pun terjadi, ketika mata Mrs Sadler bertatapan dengan mata bayi mungil itu, seperti ada semacam ikatan yang mempersatukan mereka, dan dia pun langsung tersenyum. Tak terasa sebutir air mata bergulir di pipinya dan jatuh ke atas kening bayi itu. “K-k-kau betul, T—Tom... bayi ini benar-benar tampan, aku tak pernah melihat bayi semanis dan setampan ini seumur hidupku.” isak Mrs Sadler, mengecup kening bayi yang tengah di gendongnya.
“Aku akan menamakan anak ini Alan Sadler, bagaimana menurutmu, Joane?” gagas Mr Sadler bersemangat.
“Apa maksudmu, Tom? Kita harus melaporkan anak ini dan benda sial itu ke polisi!” sergah Mrs Sadler tajam.
“No way, Joane!” raung Mr Sadler, memandang jijik isterinya. “Coba kau pikir baik-baik, jika kita melaporkan kejadian ini kepada polisi setempat, maka mereka akan langsung menghubungi pihak N.A.S.A dan apa yang akan terjadi bila mereka mengirimkan orang kesini untuk memeriksa benda elips itu, dan mereka juga pasti akan mengambil bayi ini untuk dibawa ke laboratorium mereka untuk di teliti ini dan itu, dan sungguh aku tidak bisa membayangkan apa jadinya masa depan anak ini di tangan mereka, Joane!” tambahnya, mendadak ngeri sendiri dengan kata-katanya.
Mrs Sadler tampak hendak membantah lagi suaminya, namun segera terlintas dalam pikirannya, apakah mungkin memang ini sudah jalannya—bahwa bayi ini bisa jadi sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk di pertemukan dengan dirinya dan suaminya, meski dalam kejadian yang sangat tidak normal, dan hal ini yang membuatnya langsung berubah pikiran, kemudian berkata. “Ya¬¬¬¬¬¬¬, ya, kau benar, tentu saja, tapi bagaimana menyembunyikan benda elips tolol itu, dan bagaimana juga memberitahukan orang-orang, kita mendapatkan anak ini dari mana?” lalu di amatinya suaminya tampak sedang berpikir, seperti tengah menimang-nimang sesuatu.
“Itu hal yang mudah, Joane... malam ini juga akan aku kubur benda elips itu di belakang pondok ini, dan kita dapat mengatakan kepada orang-orang bahwa kita mengadopsi bayi ini dari salah satu panti asuhan yang berada disini, waktu kita berlibur kemari, bagaimana menurutmu, Joane?” kata Mr Sadler bersemangat, tampak bola matanya bercahaya di terpa cahaya bulan.
“Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa ini adalah usul yang menarik, namun apakah kau pikir sudah bijaksana mengubur benda itu di halaman belakang pondok ini, Tom?” gumam Mrs Sadler, melirik ngeri benda elips yang ada di depannya.
“Tentu saja, Joane sayang... kau pikir berapa orang sih yang mau mengecek keadaan halaman belakang pondok mereka, jika di depannya terpampang pemandangan danau yang sangat indah ini?” kata Mr Sadler riang, tangannya membentang ke arah danau.
Dan setelah melihat senyum yang melintas di wajah isterinya, dirinya langsung tahu bahwa usulnya telah diterima, dan kini wajah Mr Sadler seolah terbuai dengan masa-masa indah di depannya, yang sekarang dan nanti akhirnya di temani sosok dari seorang anak yang selalu di rindukannya pada tiap mimpi-mimpinya di setiap malamnya. Dan dia tidak perduli dari mana asal anak misterius ini atau akan jadi apa bila besar nanti, yang jelas dia sudah berjanji dalam hatinya untuk menyayangi sepenuhnya anak ini seperti anak kandungnya sendiri.
Dengan perasaan bahagia, keluarga kecil itu pun kembali ke dalam pondok mereka untuk merayakan malam yang paling fenomenal sekaligus membahagiakan dalam hidup mereka. Tapi, kejutan pada malam itu tidak berhenti sampai disitu, karena ketika Mrs Sadler membuka balutan jubah hijau jambrut yang menyelimuti bayi itu, dia dan suaminya kembali di kejutkan lagi dengan sesuatu yang janggal namun tertoreh indah pada punggung bayi yang telah mereka angkat menjadi anak, karena di punggung bayi itu ternyata terdapat tato berbentuk seperti sayap malaikat yang melekat erat di punggungnya sampai ke batas pinggul.
Mereka berdua tidak tahu bahwa bayi yang telah mereka angkat menjadi anak mereka adalah sebuah pengecualian dari takdir yang terbentuk di atas konspirasi langit, yang mungkin bisa menjadi sebuah pembelokan takdir yang melekat pada bayi yang kelihatannya tidak berdosa itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar