sepp

Jumat, 07 Januari 2011

ALAN SADLER

Alan Sadler..

Ya, pemuda yang besar disebuah keluarga Sadler yang bisa dibilang biasa-biasa saja, tanpa ada hal-hal aneh yang bergelut dikeluarga itu dikesehariannya..
namun sampai suatu kejadian tidak terduga membuka rahasia yang selama ini terkubur indah dikeluarga Sadler..
sebuah kejadian yang akhirnya menguak berbagai pertanyaan yang muncul tentang siapa sebenarnya Alan dikeluarga itu..
hingga membuka tentang tabir keberadaan manusia dibumi yang begitu berbeda dengan yang selama ini diakui oleh para manusia itu sendiri bahwa mereka adalah benar-benar penduduk asli bumi..
walaupun pada akhirnya keselarasan harmoni yang tercipta dibumi antara manusia satu dengan manusia yang lain bisa jadi hanyalah sebuah retrorika belaka yang diciptakan oleh para pendahulu mereka, saat mereka pertama kali memijakan kaki dibumi..

Jumat, 30 Juli 2010

About Me

Hello.. My name is Dasen and I have created a book entitled "Alan Sadler At Overnight In The Last Time"
I live in jakarta, Indonesia..
and so interested in things that smelled of UFOs or other things.. its mysterious..

I am currently looking for a publisher willing to publish books that my first book this..

His next book I plan to package this Alan Sadler in four versions that where in his last series, I will open what is hidden in this world,
originated from the mean arrival and UFO sightings on the surface of the Earth..
to the origins of human existence itself, as its residents..
and the buildings which had only become a symbol and the wonders of the world alone, which of course in which there are adorning their own love story. which will all be packaged in four series.

Alien New Version

Novel "Alan Sadler at Overnight In The Last Time" adalah novel yang bergender atau menceritakan perihal tentang Alien versi baru yang Fress yang dalam arti kata, ketika kita mendengar kata Alien, apakah yang pertama kali terbentuk di pikiran kita, sudah pasti tentang piring terbang/UFO dan mahluk-mahluk berbentuk aneh lainnya, tapi kalau mendset itu sedikit digeser bahwa ternyata seluruh umat manusia itu adalah Alien itu sendiri, lantas apa yang langsung terpatri di pikiran kita. Dan itu yang akan menjadi salah satu nilai plus di buku ini.

Sosok Alien selama ini selalu di gambarkan di dalam film, tapi bagaimana kalau hal itu dituangkan di dalam buku, sudah pasti akan memiliki daya magis tersendiri, maksudnya tentang para pembaca yang akan bisa menyimpulkan atau membayangkan dari pikiran mereka sendiri tentang sosok Alien itu, karena bagi saya itu adalah salah satu kekuatan dan daya tarik buku, suatu hal yang tidak bisa di capai oleh film.

Rabu, 14 Juli 2010

BAB III

Teror Dan Surat

Suasana kelas itu begitu hening saat Aurell mengucapkan kata-kata yang terasa bagai petir di siang bolong bagi Alan, sementara itu Alan yang hanya bisa membeku tak percaya pada apa yang baru saja di dengarnya hanya bisa menatap Aurell tanpa bisa melakukan apa-apa. Keheningan di ruang kelas itu begitu mutlak terasa sangat mengerikan dan hanya diselingi isakan tertahan Aurell yang seusai berbicara langsung kembali menatap lantai di bawahnya, walaupun diluar masih terdengar suara anak-anak yang berjalan meninggalkan kelas mereka dengan bercanda-canda, Alan seolah dipisahkan dari dunia sekitarnya, merasa terasing, seperti baru saja hadir sebuah kenyataan yang mengerikan berdiri di hadapannya kini.

“Apa... apa maks... apa maksudmu dengan tidak bisa?” tanya Alan, kini suaranya sengau dan seperti terdengar sangat jauh sekali.

“Sekali lagi, maaf, Alan... apa kau sadar, apa yang selama ini aku lakukan untuk menjaga agar perasaan ini tetap ada di hatiku?” isak Aurell, masih belum mau memandang mata Alan.

“Apa—apa maksudmu?” tanya Alan, ekspresinya berubah menjadi bingung pada kata-kata Aurell.

“Aku menunggumu, Alan... menunggu selama tiga tahun, apa kau pikir tiga tahun itu waktu yang sebentar untuk menunggu agar kau berani mengutarakan ini semua!” isak Aurell, kini menatap marah pada Alan.

“Apa maksudmu, aku—aku benar-benar tidak mengerti, Aurell?” sendat Alan, yang kini wajahnya sudah sepucat tembok.

“Aku sayang padamu, Alan... sayang, sama seperti yang kau utarakan padaku tadi, tapi semua itu sudah terlambat... hanya karena kau terlalu pengecut untuk sekedar menghampiri ataupun menyatakan perasaanmu, walaupun kau tahu bahwa aku juga menyukaimu—kita saling menyukai sejak tiga tahun yang lalu!” bentak Aurell, kini wajahnya telah benar-benar banjir air mata.

“Tapi... tapi... jika kita memang benar saling menyukai, bukankah itu bagus... berarti semua baik-baik saja, kan... dan... dan kita bisa memulai hubungan ini dari awal lagi, bukan?” kata Alan, mencoba untuk tersenyum, akhirnya mengetahui penyebab Aurell mendadak marah begini.

“Seperti yang tadi aku bilang... maaf, aku tidak bisa, Alan... benar-benar tidak bisa...” ratap Aurell lemah.

“Tapi katamu tadi, bahwa kita saling…”

“Satu bulan yang lalu,” potong Aurell. “Keluargaku mengajakku ke sebuah acara di kota, aku dikenalkan oleh Dad pada anak rekan bisnisnya yang bernama, Louis” Aurell menarik nafas dalam-dalam, “Dan satu minggu yang lalu kami baru bertunangan...”

“T—tapi... tapi umurmu itu…”

“A-a-aku tahu...” isaknya seraya menubrukkan dirinya ke tubuh Alan dan memeluknya erat. “Maafkan aku, Alan... s—sungguh maaf...”

Setelah mengatakan itu, Aurell pun berlari meninggalkan kelas, meninggalkan Alan yang masih termangu menatap kosong kelebatan terakhir rambut cokelat Aurell yang melambai di belakangnya. Dan setelah Aurell pergi, dirinya merasa seperti ada yang baru saja menohok jantungnya dengan tombak, karena kebodohannyalah Aurell pergi, dan sekarang rasanya dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri yang terlalu pengecut sampai orang yang paling dicintainya pergi meninggalkannya, dan tanpa sadar ketika kemarahan menyelimuti hatinya, torehan tato sayap malaikat di punggung Alan seperti baru terbakar hingga mengeluarkan cahaya.

“ARGHHHHHH......!!!” teriaknya sambil memejamkan mata, untuk sekedar melepaskan beban kepedihan yang menyeret-nyeret hatinya, bagai ada sebuah jurang tak tampak yang memisahkan dirinya dari sisa dunia yang lain—dia sejak dulu adalah orang yang dicintai Aurell, hanya saja dia tidak pernah benar-benar berusaha untuk meraihnya.
Jack muncul dengan mendobrak pintu kelas yang tadi sedikit tertutup, dengan sedikit terengah menatap Alan yang kini tengah berlutut di lantai yang kepalanya tertunduk lemas dengan kedua tangan mencengkram lantai.

“Apa yang terjadi?” tanyanya cemas. “Aku melihat Aurell—dia berlari meninggalkan kelas sambil menangis—ada apa, Alan?”

Alan menatap Jack yang wajahnya kini sama pucatnya, dia tidak tahu bahwa seumur hidupnya dirinya belum pernah merasa semerana ini, bayangan Aurell yang menatapnya marah sambil menangis membuat hatinya semakin sakit saja.

“Aurell... dia—dia sudah bertunangan, dengan anak dari teman ayahnya...” katanya sembari berpaling dari Jack, seakan setiap kata yang keluar dari mulutnya
memerlukan usaha yang keras dan terdengar lebih menyakitkan ketika di ulang kembali.

“Ini... ini tidak mungkin...” seru Jack, dengan raut wajah tidak percaya, “T—tapi...” dia kehilangan suaranya ketika berjalan menghampiri Alan yang masih tertunduk lemas, dan dia bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang untuk menghibur sahabat karibnya itu, maka lalu Jack memutuskan untuk berkata, “Ayo, sebaiknya kita pergi dari sini, sobat”

***

Minggu-minggu berikutnya Alan masih belum bisa menerima kenyataan pahit yang menderanya, bahkan dalam waktu-waktu senggangnya ketika mengikuti setiap pelajaran dirinya masih menyempatkan diri untuk mencuri pandang ke arah Aurell, yang duduk empat meja di depannya. Tiga kali dia berpas-pasan dengan Aurell, namun mata Aurell selalu menatap ke arah lantai—menghindari bertatapan mata dengan dirinya, sampai di hati Alan tercetus rasa bahwa Aurell memang sengaja menghindarinya.

Di sabtu sore yang hangat, Alan dan Jack sedang asik bermain basket di lapangan dekat rumah Jack, dan basket adalah satu-satunya kegiatan dimana Alan tidak bisa menang dan ini membuat Jack senang, karena dia bisa meledek dan mengolok-olok Alan sebelum dia melakukan lemparan indah ke arah ring.

“Jack... time out!” kata Alan, tersengal kelelahan.

“Ada apa, Alan, apakah kau sudah merasa lelah melawanku?” tanya Jack, memainkan bola dengan lincah di sekitar kakinya.

“Yeah, aku menyerah... 62-0 sudah cukup bagiku.” gumam Alan, berjalan ke pinggir lapangan dan duduk di bangku panjang yang ada disitu.

“Alan, aku akui kau memang hebat dalam setiap mata pelajaran dan aku tak pernah bermimpi untuk dapat menyaingimu, tapi jujur saja kau lemah dalam dua hal.” kata Jack santai, kini bola itu berpusing cepat sekali di jari telunjuknya. “Kau tahu, cinta dan basket.”

“Diam kau... tidak cukup bagimu mempecundangiku hari ini, tanpa harus meledekku terus dengan dua hal itu!” kata Alan kesal.

“Hey, tunggu sebentar, aku tidak meledekmu, sobat, tapi justru sebaliknya aku memotivasimu, dengan cara yang berbeda, tentunya.” ujar Jack tertawa, sambil mengacak-acak rambut Alan.

“Oh, tutup mulutmu!” kata Alan ketus. “Kau pikir kau lebih hebat dariku apa soal percintaan, dan tolong ingatkan aku sudah berapa orang cewek yang menolakmu mentah-mentah, ketika kau mencoba untuk mengajak mereka berkencan, ha!” balasnya, gantian tertawa geli saat melihat Jack berubah-ubah air mukanya saking kagetnya.

Namun jack cepat menguasai diri seraya berkata dengan enteng. “Ya, itu resiko mereka, kenapa mereka terlalu naif untuk mengakui bahwa mereka sebenarnya tersanjung mendapat tawaran kencan dariku.” kilahnya membela diri. “Tapi intinya adalah bahwa aku, Jackson Bradley, tidak pernah takut untuk mengutarakan perasaanku pada wanita.” kata Jack, dengan gaya berapi-api, tersenyum menang melihat seringai enggan di wajah Alan.

“Jack, apakah orang itu tinggal di sekitar sini?” tanya Alan tajam, menunjuk ke arah seorang kakek yang tengah berdiri di ujung jalan, kakek itu berpakaian aneh, dia memakai jubah hitam sepanjang mata kaki, bola matanya sama seperti Alan berwarna orange terang, rambutnya yang sudah beruban menjuntai sampai ke bahu, dan sepatu yang di kenakan kakek itu aneh sekali, seperti semacam terompah mesir kuno, namun yang paling ganjil dari semua ini, kakek itu seperti menatap benci pada Alan seolah Alan telah melakukan hal yang buruk kepadanya.

“Tidak, aku belum pernah melihatnya,” kata Jack “Dan yang jelas dia tidak tinggal di dekat sini—aku kenal dengan semua orang disini.” tambahnya, memicingkan mata untuk melihat lebih jelas lagi. “Paling cuma orang lewat saja, kok, dan dia tidak sengaja melihat permainan basketku yang bagus dan saking terpukaunya dia sampai berhenti untuk melihatku bermain, begitu.” katanya santai, kembali memutar bola di tangannya sampai bola itu berpusing cepat sekali di jari telunjuknya.

“Oh, diam kau.” sahut Alan, kembali melirik kakek itu tapi kakek tua itu telah lenyap, seperti baru di telan bumi. “Hey, kemana perginya orang itu? dia hilang begitu saja.” serunya, menengok kanan dan kiri mencoba mencari kemana perginya kakek itu.

“Yeah, kau betul, kemana perginya, ya, dia?” gumam Jack. “Apa kau pikir dia hantu?”
“Tidak mungkin, tadi aku melihat kakinya, kok.” kata Alan tegas

“Ee... sebaiknya kita pergi saja, sobat, ya, hari sudah mulai gelap.” ujar Jack tampak sedikit cemas, celingukkan, mengangkat tasnya ke bahu, dan kemudian mereka pun meninggalkan lapangan yang kini kosong.

***

Pada hari-hari berikutnya Alan sudah melupakan pertemuan dengan kakek misterius itu, namun jika Alan berpikir bahwa dia tidak akan bertemu lagi dengan kakek itu, dia salah. Kakek itu muncul lagi waktu Alan sedang berjalan sendirian di N 7nd Ave menuju ke Sharon Ave, kakek tua itu muncul dari balik pohon besar di ujung jalan, berdiri dan menatap tajam Alan dengan mata orangenya yang memancarkan kebencian. Alan menengok ke kanan dan kiri untuk melihat apakah ada orang di sekitarnya yang bisa dimintai bantuan jika terjadi apa-apa nanti, dan ternyata hanya ada dia sendiri di jalanan itu, tidak ada orang lain disana, dengan perasaan kecut Alan menengok kembali ke tempat kakek itu, tapi kakek tua itu sudah lenyap lagi.

Kecurigaan Alan bertambah besar bahwa kakek itu tidak memiliki iktikad baik pada dirinya, ini di perkuat lagi dengan kakek itu selalu muncul dengan tiba-tiba dimanapun Alan berada dan hilang secara misterius ketika dia mencoba mendekatinya, dan dari semua ini yang paling parah adalah ketika Alan terjaga dari tidurnya karena mimpi-mimpi buruknya, dia melihat kembali kakek itu dari daun jendela kamarnya, berdiri tepat di bawah pohon di depan rumahnya, mata orange kakek itu seolah bercahaya di bawah keremangan malam persis seperti mata kucing di malam hari.
Ini sudah keterlaluan pikir Alan, dia tidak pernah berbuat salah pada kakek itu apalagi mengenalnya, tapi kenapa dirinya selalu diteror seperti ini. Tanpa berpikir panjang lagi Alan langsung berlari keluar kamar, membuat sedikit kegaduhan ketika dia menuruni anak tangga dan secepat kilat berlari melewati ruang tamu dan langsung membuka grendel kunci pintu depan rumahnya. Tapi ketika dia sampai di depan teras rumahnya dengan napas agak tersengal, kembali Alan berhadapan dengan sebuah pohon tepat kira-kira satu menit yang lalu kakek itu berdiri di bawahnya, namun kembali lagi sekarang dia telah lenyap sama seperti sebelumnya.

Selama hampir lima menit Alan berputar-putar di sekitar halamannya untuk mencari jejak kemana hilangnya kakek itu namun semua usahanya sia-sia, dengan enggan dia kembali ke teras rumahnya dan terduduk lemas di bangku yang ada disitu.

Aku tidak mungkin gila, pikir Alan, karena aku memang benar melihat dengan jelas bahwa kakek itu tadi berdiri tepat di bawah pohon, dan Jack juga pernah melihatnya kok, pikirnya dalam hati sambil terus memandang pohon itu berharap kakek itu muncul tiba-tiba di bawahnya.

Mr Sadler dan Mrs Sadler keluar dari dalam rumah dengan tergopoh-gopoh, kedua tangannya menggenggam pemukul Baseball sedangkan isterinya menggenggam sebuah ceret yang tadi diambilnya dari dapur, tampang mereka berdua sangat pucat dan awut-awutan.

“Mana pencurinya, Alan? Katakan padaku dia lari kemana?” tanya Mr Sadler cepat, dengan liar menengok ke kanan dan kiri.

“Apa sebaiknya kita panggil polisi saja, Tom? Aku takut sekali.” cicit Mrs Sadler tampak cemas, berlindung di balik suaminya.

“Tidak ada apa-apa, Mom, Dad… maaf kukira tadi aku melihat seekor ular dihalaman,” kata Alan berbohong. ”Tapi aku tadi sudah memeriksanya dan ternyata yang kutemukan hanya ranting tolol saja.” lagi-lagi Alan berbohong. “Maaf sudah membangunkan kalian berdua.”

“Apa kau yakin, itu hanya sebuah ranting, nak?” tuntut Mr Sadler, masih menatap liar ke kanan kiri halamannya.

“Seratus persen hanya ranting, Dad.” Kata Alan, menatap mantap ayahnya, sebenarnya Alan merasa bersalah sekali karena telah berbohong pada orangtuanya, tapi dia tidak mau membuat orangtuanya bertambah cemas dengan cerita tentang seorang kakek bodoh yang selalu membuntuti dirinya akhir-akhir ini dan selalu lenyap ketika dia mencoba mendekati.

***

“Alan, kau harus melaporkan orang itu ke polisi!” kata Jack serius, setelah Alan menceritakan kepadanya tentang kejadian tadi malam pada waktu jam istirahat makan siang di kantin sekolahnya.

“Tidak, aku tak akan melaporkannya, toh dia belum melakukan apa-apa kan, selain membuntutiku.” gumam Alan, menyuap kentang tumbuk ke mulutnya.

“Tapi itu sudah termasuk pelanggaran privasi namanya dan itu dilarang di negara kita, ada pasalnya kok yang melarang orang untuk memata-matai orang lain.” kata Jack sengit. “Aku kenal seorang polisi yang mungkin bisa membantu kita menangkap orang itu, bagaimana menurutmu?”

“Ya, mungkin itu bisa di jadikan alternatif terakhir jika kakek itu melakukan tindakan yang mungkin membahayakan diriku.” gumam Alan, dia tidak mau dirinya terlihat takut hanya kepada seorang kakek tua di depan Jack, walaupun di dalam hatinya dia merasa agak cemas kalau-kalau kakek itu tiba-tiba muncul sambil menodongkan senjata kepadanya, dan setelah menembaknya dia langsung buru-buru menghilang seperti yang biasa dilakukannya.

“By the way, akhir pekan nanti kau jadi menginap di rumahku, kan?” tanya Jack, menatap Alan tajam-tajam.

“Aku sudah bilang pada Mom dan Dad, dan mereka mengijinkan, jadi tidak ada masalah.” kata Alan santai.

“Bagus kalau begitu, Mom dan Dad pasti senang kau menginap di rumah kami.” seru Jack bersemangat.

“Memang apa sih yang mau kau tunjukan? Sampai-sampai aku harus menginap segala di rumahmu.” tanya Alan, melihat senyum ganjil melintas di wajah Jack.

“Percayalah, Alan, hal ini pantas di tebus dengan nyawamu.” kata Jack misterius.

“Terserah kau saja, semoga yang kau tunjukan nanti tidak benar-benar membuatku sampai terbunuh.” gumam Alan, melirik Aurell yang saja baru masuk ke dalam kantin bersama temannya yang bernama Marrie Sally Estevan, dirinya seperti memiliki semacam firasat bahwa selama sepersekian detik tadi Aurell sempat melirik ke arahnya, tapi yang dilihatnya sekarang Aurell sedang bercanda dengan temannya di bangku mereka yang terletak di sudut kantin, ingin sekali rasanya Alan berpindah tempat dengan Sally dan membayangkan dirinya yang bercanda dan bersenda gurau bersama Aurell.

“Kau sudah selesai dengan makananmu, sobat?” tanya Jack.

“Apa... kau bilang apa tadi?” kata Alan, suara Jack yang vokal baru saja mengaburkan lamunannya yang sedang duduk berdua dengan Aurell.

“Makannya sudah selesai, belum?” ulang Jack, mengerling ke arah Aurell.

“Yah, sudah… aku sudah selesai, kenapa memangnya?” tanya Alan.

“Kalau begitu, ayo cepat kita kembali ke kelas, kurasa aku lupa mengerjakan Pr kimia ku semalam.” kata Jack, seraya berdiri dan mengangkat tasnya ke bahu.

“Oh, baiklah.” gumam Alan malas, ikut bangkit berdiri sambil memandang Aurell dengan perasaan merana.

***

Sabtu sore berikutnya seusai bermain basket mereka berdua berjalan ke rumah Jack yang letaknya tidak jauh dari lapangan tempat Alan dan Jack biasa bermain basket, mereka tiba di sebuah rumah mungil namun terlihat nyaman dengan pekarangan rumah yang di tumbuhi oleh berbagai macam bunga yang terawat dan asri. Jack memimpin di depan dengan menaiki undakan anak tangga teras rumahnya dan langsung membuka pintu, mereka berdua langsung naik ke atas menuju kamar Jack yang di depan pintu kamarnya terpampang tulisan besar-besar yang berbunyi “HANYA LELAKI SEJATI YANG BOLEH MASUK!” alasan yang cukup masuk akal mengingat hanya ada dua laki-laki di rumahnya, yaitu Jack dan ayahnya, Mr Bradley, pikir Alan.

Alan sudah sangat sering main ke rumah Jack selepas pulang sekolah atau sehabis bermain basket, tapi baru kali ini dia mau menginap di rumah sahabatnya tersebut. Semua dinding di kamar Jack di isi dengan begitu banyak poster para pemain basket terkenal seperti Michael Jordan, Shaq O Neal dan masih banyak lagi, satu-satunya ruang dinding itu yang tidak di tutupi poster para pemain basket adalah cermin besar berbentuk oval yang ada di antara lemari dan meja belajarnya.

“Ayo, sekarang tunjukan padaku, barang apa yang mau kau perlihatkan itu?” tuntut Alan , duduk di atas tempat tidur Jack.

“Belum saatnya, sobat.” gumam Jack, tersenyum janggal lagi. “Nanti setelah makan malam, baru aku tunjukan padamu, oke.”

“Yang benar saja!” kata Alan sinis. “Sejak kapan kau mulai main rahasia-rahasian begini?”

“Maaf, Alan... tapi aku memang di amanatkan oleh orang yang memberi benda ini, untuk memberikannya padamu selepas tengah malam nanti.” kata Jack, ada kilatan aneh di matanya.

“Terserah padamu saja,” kata Alan sambil lalu. “Oh ya, aku tidak melihat ayah dan ibumu tadi di bawah, mereka kemana?” tanyanya, menatap Jack yang sikapnya makin lama semakin aneh.

“Dad belum pulang, mungkin dia baru kembali pada saat makan malam, dan Mom mungkin ada di dapur, menyiapkan makan malam.” kata Jack datar.

Alan merasa ada yang aneh dengan sikap Jack satu minggu ini, tidak biasanya dia bersikap serba rahasia begini, apalagi harus memaksa Alan untuk menginap di rumahnya segala. Alasan Alan selalu menolak ajakan Jack untuk menginap di rumahnya adalah karena dia takut kalau Jack bakal mengetahui rahasia terbesarnya, kenyataan bahwa jika dia bermimpi buruk maka tato sayap malaikat di punggungnya pasti akan langsung berpendar mengeluarkan cahaya merah membara, dan jika Jack sampai melihat hal ini, maka Alan sangat yakin Jack akan langsung pingsan saking kagetnya atau yang paling parah Jack tidak mau lagi berteman dengannya, karena menganggap Alan adalah anak aneh yang menakutkan.

Makan malam dirumah Jack bisa dibilang cukup seru dan menyenangkan, Mrs Bradley ibu Jack adalah wanita yang sangat ramah, berkulit gelap sama seperti Jack dengan rambut di kepang kecil-kecil yang menjuntai ke bawah bahunya yang membuatnya kelihatan manis sekali, dan tampaknya Mrs Bradley telah bekerja cukup keras untuk menyiapkan hidangan pada makan malam, karena semua makanan yang ada di atas meja makan terlihat sangat menggiurkan dan nampak lezat. Di depan tempat Alan duduk ada kakak perempuan tertua Jack yang bernama Clarance, dia hampir mirip dengan ibunya versi muda, tinggi jangkung, bahkan orang bisa beranggapan bahwa mereka adalah sepasang adik dan kakak bukannya ibu dan anak, sedikit yang membedakannya mungkin bahwa Clarance memakai kaca mata oval yang membuatnya terlihat agak sedikit dewasa, dan di samping Alan duduk adik perempuan Jack yang paling kecil yang bernama Marieta yang berusia delapan tahun, rambutnya hitam lebat, dan Alan sangat menyukai Marieta, mungkin karena di dasarkan fakta bahwa dia adalah anak tunggal di keluarganya, sehingga dirinya tidak pernah merasakan memiliki seorang adik, maka dia sudah menganggap Marieta sebagai adiknya sendiri, Mr Bradley belum pulang kerumah.

“Alan, senang sekali kau mau menginap di rumah kami.” kata Mrs Bradley, “Dan bagaimana kabar ayah dan ibumu? Apakah mereka baik-baik saja?” tanyanya sembari tersenyum.

“Iya, Mrs Bradley, mereka baik-baik saja dan Mom dan Dad kirim salam, mereka minta maaf karena belum bisa berkunjung kemari.” kata Alan, sambil bercanda dengan Marieta.

Alan sedang menyendok domba panggang ke piringnya saat terdengar ketukan pelan di pintu depan dan suara pintu menggeser terbuka, seorang laki-laki paruh baya masuk ke dalam dapur, berbadan gemuk dengan rambut plontos sama seperti Jack, berkulit gelap dan memiliki wajah kebapakan.

“Kau sudah pulang, Will.” sapa Mrs Bradley kepada suaminya “Ayo, makanlah sebelum dingin.”

“Tentu saja, sayang... aku lapar sekali.” kata Mr Bradley, mengecup sayang pipi isterinya dan langsung duduk di meja makan. “Ah, Alan, bagaimana makanannya, enak?” katanya melirik ke arah Alan.

“Tentu, Mr Bradley, masakan isteri anda, sangat luar biasa.” kata Alan, tersenyum kepada Mrs Bradley.

“Dari dulu kau memang pintar memuji, Alan. Sama seperti ibumu, dia adalah wanita yang luar biasa.” sambut Mrs Bradley tersenyum malu.

Seusai makan malam Alan dan Jack pergi ke atas kembali ke kamar Jack dengan perut kekenyangan, setibanya di kamar Alan langsung melempar tubuhnya ke atas kasur sambil mengelus sayang perutnya.

“Kau tahu, Jack... chipolata buatan ibumu itu enak sekali.” gumam Alan, memejamkan matanya.

“kurasa begitu.” kata Jack datar.

“Tadi katamu, kau mau menunjukan sesuatu padaku, mana?” seru Alan, berbalik menghadap Jack yang berdiri di ambang jendela sambil menautkan kedua tangannya di dada.

“Kau yakin, sudah betul-betul siap melihatnya?” tanya Jack serius, menatap tajam Alan yang menopang kepalanya dengan tangan di atas tempat tidur.

“Sudahlah, jangan bertele-tele.” kata Alan gusar.

“Baiklah kalau begitu, tunggu sebentar.” gumam Jack, melangkah mendekati lemari kemudian membukanya dengan satu tangan, dia mengambil sebuah kotak hitam kecil persegi panjang yang di ikat dengan sebuah tali berwarna merah, setelah itu berjalan ke arah Alan dan berdiri di hadapannya dengan canggung. Pikiran pertama yang melintas di benak Alan adalah apa isi dari kotak itu.

“Apa itu?” tanya Alan, menatap kotak di depannya.

“Sekitar satu minggu yang lalu, Aurell datang menghampiriku saat aku sedang bermain basket sendirian di lapangan. Kami bicara banyak hal dan tentu kau yang menjadi pokok pembahasan kami saat itu, dia juga menceritakan tentang pertemuan kalian yang terakhir dan Aurell mengatakan bahwa dia sangat menyesal karenanya, dan karena aku satu-satunya sahabatmu dan yang paling dekat denganmu, tentunya, maka Aurell menitipkan kotak ini kepadamu, buddy.” kata Jack, memberikan kotak kecil itu kepada Alan dan kembali berdiri di ambang jendela.

Alan tidak bisa mempercayai apa yang baru saja di dengarnya, dia bahkan merasa pikiran dan hatinya baru saja pergi meninggalkan tubuhnya, karena saat ini dia merasa benar-benar kosong. Perlahan Alan mulai mengurai pita merah yang membelit indah kotak itu dan dengan kegugupan yang luar biasa mulai membuka kait yang ada di bagian tengah kotak pelan-pelan, ternyata di dalam kotak kecil itu ada sepucuk surat dengan kertas berwarna merah jambu dan sebuah buku dengan sampul berwarna biru, Alan meraih buku itu dan betapa terkejutnya dia mendapati foto dirinya tertempel di halaman buku itu dengan dihiasi lukisan gambar love di setiap sisi foto dirinya. Lalu dia meletakan buku itu dengan hati-hati di sampingnya dan mengambil surat berwarna merah jambu dan dengan memejamkan mata, Alan mulai membuka lipatan kertas yang ada di dalam surat dan setelah merasa yakin bahwa jantungnya tidak akan terjun bebas ketika membaca kalimat pertama yang ada di surat yang memang di tujukan untuknya dari wanita yang paling dicintainya, perlahan Alan mulai membuka kedua matanya.


Dear Alan
Semoga kau baik-baik saja, dan maafkan aku karena aku tidak bisa menemukan cara lain untuk menyampaikan hal ini padamu selain dengan jalan ini.
Alan, aku tahu bahwa kau pasti sangat kecewa dengan jawabanku tempo hari, aku sangat sedih waktu ayahku memberitahukan padaku bahwa aku harus bertunangan dengan laki-laki yang bernama Louis, aku bahkan tidak mengenalnya, kami hanya baru bertemu satu kali. Dan kau harus tahu bahwa aku tidak mencintainya, sama sekali tidak... karena aku telah menemukan orang yang aku cintai yaitu kau Alan, dan aku ingin agar kau mengetahui perasaanku yang sebenarnya, sejak pertama aku menyadari bahwa aku mencintaimu, dengan memberimu buku harian yang selama tiga tahun ini kutulis. Di dalam buku itu kau akan temukan semuanya tentang diriku, dan bagaimana cara aku mencintaimu selama tiga tahun ini, hingga alasan mengapa aku menerima dengan pasrah pertunangan ini.
Aku sadar bahwa ini adalah keputusan yang akan mengakhiri segalanya tentang harapanku padamu, karena di satu sisi aku tidak bisa menolak permintaan orangtuaku dan di sisi yang lain aku bersedia menyerahkan apapun yang aku miliki agar bisa terus bersamamu. Namun, betapapun aku ingin membuat kedua sisi itu bersatu, aku sadar bahwa aku tidak mungkin mendapatkan dua hal yang aku inginkan dalam waktu yang bersamaan.
Aku punya satu permintaan padamu Alan dan untuk yang terakhir kalinya, karena ada satu hal lain lagi yang ingin aku sampaikan padamu, tapi tidak di dalam surat ini... Alan, maukah kau datang menemuiku pada tanggal 19 maret nanti? Aku akan menunggumu di tempat pertama kali kita bertemu, yaitu di taman kota, di bawah tugu ibu dan anak tepat pada jam 12.00 AM tengah malam.
Aku mohon, Alan, aku mohon datanglah...
Aku menunggumu...
Love swett regart
Aurellia Evaline Swan


Alan mengadahkan kepalanya menatap Jack, “Tanggal—sembilan—belas.” katanya dengan suara agak tercekik sehingga kedengarannya seperti bukan suaranya. “Dan sekarang tanggal...”

“Delapan belas, dan tepat tengah malam nanti tanggal sembilan belas.” sahut Jack, matanya menatap tajam Alan.

Sejenak Alan menunduk menatap suratnya kembali dan kemudian langsung mengangkat kepalanya lagi lalu berkata. “Tapi—tapi bagaimana kita keluar dari sini? Orangtuamu pasti tidak akan mengizinkan dan... dan bagaimana...” Alan tidak sanggup bertanya bagaimana Aurell bisa keluar dari rumahnya pada jam segitu, tanpa membuat orangtuanya curiga.

“Aku dan Aurell sudah merencanakan semuanya, sobat.” kata Jack tersenyum, “Tentu kau bertanya mengapa aku mengajakmu untuk menginap malam ini di rumahku, bukan? Aku tak hanya sekedar memberikan bingkisan yang dititipkan Aurell padamu, tapi aku sudah mempersiapkan segalanya, nanti tepat pada tengah malam kita menyelinap keluar dari sini dengan menggunakan ini.” Jack menunjukan tali tambang yang sudah terangkai menjadi semacam anak tangga di tangannya. “Karena tentu kita tidak akan menyelinap keluar dari rumah dengan melalui pintu depan, terlalu beresiko karena bisa-bisa kita nanti kepergok dengan Mum atau Dad di bawah. Sedangkan Aurell, tentu saja dia tidak akan di izinkan oleh orangtuanya untuk keluar malam-malam begini, dan jika dia sampai tertangkap sedang menyelinap keluar, sudah pasti rencana kita akan berantakan semuanya. Maka dari itu malam ini dia menginap di rumah temannya—Marie Sally Estevan dan untungnya Sally dengan senang hati bersedia menyelundupkan Aurell pada tengah malam nanti dari rumahnya untuk bertemu dengan kau. Jadi intinya Alan, situasi saat ini, sudah terkendali.”

“Jack... aku—aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa...” sendat Alan, memandang Jack seolah dia baru pertama kali melihat sahabatnya berdiri di ambang jendela.

“Sudahlah, sobat.” kata Jack, menghampiri sahabatnya dan merangkul pundaknya. “Jika aku ada di posisimu saat ini, tentu kau akan melakukan hal yang sama kepadaku.”

BAB II

Mimpi dan Cinta

Waktu terus bergulir dari awal kejadian yang secara tidak langsung telah mengubah kehidupan keluarga Sadler untuk selamanya, yang dimana pada saat malam raya awal liburan mereka di danau Michigan, di hebohkan dengan penemuan seorang bayi laki-laki di sebuah benda elips yang pertama mereka kira adalah sebuah meteor yang jatuh ke Bumi, tapi ternyata tidak lain adalah merupakan sebuah pesawat antariksa yang mengantarkan bayi itu ke Bumi.

Kini, setelah hampir enam belas tahun berlalu, benda elips keperakan yang membawa bayi itu masih tetap terkubur di belakang pondok penginapan mereka yang berada di tepian danau Michigan, aman dan tidak ada yang mungkin menduganya bahwa sesuatu yang asing dan salah satu hal yang bisa saja keberadaannya tidak di terima di Bumi, terpendam dan tidak ada yang tahu.

Hari-hari membahagiakan keluarga Sadler tatkala untuk pertama kalinya mereka memulai merawat serta membesarkan bayi itu terus berlanjut sampai sekarang. Alan kecil tumbuh senormal anak-anak pada umumnya atau mungkin bisa dikatakan normal menurut Mr dan Mrs Sadler, karena mereka tidak bisa memungkiri bahwa ada hal-hal menakjubkan sekaligus aneh pada anak laki-laki yang telah mereka namakan Alan Sadler ini.

Kejadiannya bermula saat Alan berusia empat tahun, dia sedang berada di dapur ibunya dan agak sedikit lepas dari pengawasan Mrs Sadler yang tengah mempersiapkan masakan untuk makan malam. Dengan polosnya Alan kecil mengambil pisau dapur ibunya yang tergeletak di atas meja dan langsung memain-mainkan pisau di tangannya dengan cara mengiris-iris wortel di depannya, seperti yang tadi dilakukan oleh ibunya, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa anak kecil dan benda-benda tajam itu bukanlah perpaduan yang baik.

Jeritan nyaring Alan kecil langsung saja memenuhi ruangan dapur keluarga Sadler, darah segar mengalir dari ibu jarinya, kontan saja kejadian ini membuat Mr dan Mrs Sadler panik bukan main. Secepat kilat Mrs Sadler langsung menyambar putranya dan segera mencuci luka di ibu jari Alan di wastafel tempat cuci piring, sementara Mr Sadler berlari menuju ke sudut dapur dan mengambil kotak P3K, namun ketika Mr Sadler hendak membalutkan perban di jari putranya, kembali lagi dia dikejutkan saat melihat ibu jari putranya sudah kembali seperti semula—darah berhenti menetes dan secara ajaib kulit putranya menyatu dengan sendirinya, tanpa ada bekas luka bahwa sekitar satu menit yang lalu kulit Alan kecil telah tertoreh pisau yang sangat tajam.

Spontan hal ini sangatlah mengagetkan pasangan suami isteri Sadler, namun sejurus kemudian Mr Sadler menyunggingkan senyum janggal di wajahnya dan langsung berkata. “Ini adalah sebuah anugerah atau kelebihan yang diberikan Tuhan kepada kepada anak ini.” gumamnya, sembari mengusap sayang kepala putranya.

Selain peristiwa kecil yang cukup menggemparkan di dapur Mrs Sadler, tidak ada hal-hal aneh atau kejadian istimewa lain yang dialami pasangan suami isteri Sadler dalam membesarkan Alan.

Dan kini Alan Sadler tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah dan dia bukanlah anak manja seperti anak tunggal lainnya di sekolahnya, karena Mr dan Mrs Sadler mendidik putra mereka untuk bisa mandiri sejak Alan masih kecil. Alan juga anak yang cukup jenius untuk anak seumurannya dan karena dia memiliki wajah yang tampan, pesona ini membuat dirinya disukai oleh gadis-gadis remaja yang ada di sekolahnya, dan kabar baiknya dia juga termasuk salah satu anak yang cukup populer

disekolahnya. Tapi dibalik ketampannya Alan juga memiliki kelemahan—kelemahan yang terkadang menghinggapi orang-orang tertentu dengan perasaan yang kelewat peka—dia tidak pernah percaya diri apalagi berani jika sedang berhadapan ataupun berjalan melewati serombongan gadis yang ada di depannya, ditambah jika cewek itu adalah perempuan yang sedang di taksirnya, itu makin membuat semuanya menjadi kacau yang langsung mengkondisikan otak dan tubuhnya tidak bisa bekerja dengan normal.

Namun Alan juga memiliki kegemaran yang sangat unik, yaitu pada saat malam tiba, dirinya selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu selama hampir berjam-jam di depan jendela kamarnya yang berada di lantai dua rumahnya untuk memandang langit di malam hari. Dia tidak tahu kenapa saat menatap langit yang ada di atasnya, dirinya selalu merasa ada sesuatu hal yang mempersatukan mereka, seolah ada suatu fakta yang tersembunyi dibalik keberadaannya, dibalik kebiasaannya ini. Entah apakah itu namanya semacam kerinduan, ketenangan, kedamaian, dia tidak tahu, atau ada hal-hal tertentu lainnya yang membuat dirinya begitu terkesan dengan apa yang dirasakannya ketika malam tiba, dengan kanvas khasnya yang selalu bertabur jutaan bintang dan bulan yang terkadang menemani dengan bentuknya yang selalu berubah-ubah.

Tetapi Alan juga punya satu rahasia—rahasia yang tidak pernah dia diskusikan dengan orang lain, meskipun itu orangtuanya sendiri. Karena dia tahu orang pasti akan langsung beranggapan bahwa dia tidak waras tentang kelebihan apa yang ada di kedua matanya, kenyataan bahwa selain dari pola warna orange yang menghiasi pupil matanya, keanehan terbesar pada matanya ini adalah bahwa matanya ternyata bisa melihat dalam kegelapan total sekalipun, entah apakah ada yang salah dengan retinanya matanya ini dia tidak tahu. Dan Alan sudah menyadari keanehan ini jauh sejak dia masih kecil, dan semenjak itu dia berpendapat bahwa ada sesuatu yang berbeda dari dirinya dengan anak-anak lain seusianya, mulai dari tato berbentuk sayap malaikat yang terukir indah di punggungnya, mata anehnya ini, dan tentu saja kulitnya yang bisa sembuh dengan sendirinya hanya dalam waktu singkat.

Matahari terbit menyinari halaman depan Mr Sadler yang terawat dan rapih, udara begitu sejuk di pagi yang ramah, mengingat hujan turun cukup deras semalam mengguyur kota Mainfreed Town. Tampaknya masih ada sisa-sisa butiran air hujan di setiap ujung-ujung daun dan rumput yang berkilauan cantik di terpa sinar matahari pagi.

Dengan napas agak terengah-engah Alan bangun di pagi itu, piamanya basah oleh keringat di sekujur tubuhnya. Dengan menatap langit-langit yang ada di kamarnya, dirinya mencoba memutar kembali mimpi yang baru dia alami di dalam otaknya. Karena tidak salah lagi akhir-akhir ini dia sering bermimpi aneh yang sama dengan apa yang baru saja di mimpikannya barusan, dan selalu saja dalam mimpi itu dia terjebak dalam suatu pertempuran dasyat yang tidak pernah dibayangkannya. Dimana dirinya selalu menunggangi seekor kuda bersayap—pegasus, berwarna abu-abu keperakan yang melayang bersama dirinya di tengah pertempuran paling brutal, sambil menghujamkan pedang bermata dua yang berpendar dengan warna biru keperakan.

Suara ketukan pelan di pintu kamarnya, sontak membuyarkan lamunan Alan pada mimpinya.

“Alan... Alan sayang, kau sudah bangun, nak?” kata Mrs Sadler lembut dari balik kamarnya, “Tentu kau tidak lupa bahwa hari ini kau ada ujian dengan Mrs Brown, guru matematikamu.”

“Yeah, Mom. Aku sudah hampir bangun, sebentar lagi aku turun.” jawab Alan, menggeliatkan badannya.

“Dan kawanmu, Jack, sudah menunggumu di depan.” tambah Mrs Sadler lembut.

“Oke, Mom, thanks…”

Segera selesai sarapan, Alan langsung mengecup pipi ibunya dan langsung menemui sahabat karibnya, Jackson Bradley. Pemuda berkulit gelap dengan rambut plontos yang hanya sepanjang satu senti di kepalanya yang lonjong dan berwajah periang. Mr Sadler sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali karena ada janji meeting dengan Mr Eisenbud.

“Alan, kau lama sekali, aku hampir saja menjadi patung selamat datang di teras depan rumahmu ini, kau tahu!” tegur Jack, berpura-pura memasang wajah kesal.

“Sorry, man... kau tahu, orang sepertiku ini tidak biasa bangun pagi-pagi, bukan.” canda Alan, tersenyum pada Jack.

“Ya, benar!” dengus Jack, dongkol.

Mereka berdua kemudian jalan bersama-sama di trotoar yang menuju tempat pemberhentian bus sekolah, tentu dengan di barengi saling meledek satu sama lain.
Alan sudah bersahabat dengan Jack semenjak dia masih duduk di kelas tiga, dan semenjak itu mereka seolah tidak terpisahkan, dimana ada Alan disitu pasti ada Jack, dan begitupun sebaliknya. Dan untuk hal-hal tertentu yang tidak bisa dia ceritakan ataupun dia lakukan dengan orang lain, sepelik apapun masalah itu dia selalu berbagi dan minta pendapat dari Jack, dan Jack pun demikian. Bahkan hubungan persahabatan mereka berdua mungkin sudah seperti atau bahkan melebihi saudara kandung, mengingat keduanya tidak memiliki saudara laki-laki.

“Jack, kau tahu aku mimpi apa semalam?” kata Alan, membuka pembicaraan ketika mereka sudah ada di dalam bus.

“Jangan katakan, kalau kau mimpi aneh lagi, bahwa kau menjadi seorang panglima perang yang mengendarai kuda putih yang bisa terbang konyol melayang-layang, begitu.” gumam Jack malas, menatap Alan.

“Tepat sekali, aku mimpi seperti itu lagi semalam.” ujar Alan, dengan suara pelan, “Tapi ini berbeda, aku seperti bisa merasakan bahwa ini benar-benar terjadi, bahkan anehnya lagi aku nyaris bisa mencium bau anyir darah di pedangku dan lain sebagainya, kau tahu.”

“Sepertinya kau harus menemui seorang psikiater, sobat.” tegas Jack, memandang tajam Alan. “Karena kalau tidak, kau bisa...”

“Aku tidak gila, Jack!” bentak Alan, begitu keras sehingga separuh penumpang bus langsung menengok ke arah tempat mereka. “Dengar, Jack, kau adalah sahabatku, dan kau adalah psikiaterku yang paling hebat, aku percaya padamu, aku hanya merasa akhir-akhir ini bahwa...” Alan menghentikan ucapannya, saat melihat wajah jack yang mengernyit ngeri padanya. “Ya, mungkin kau benar, aku hanya kelelahan dan kurang bisa berpikir jernih akhir-akhir ini...” ungkapnya lemah.

“Buddy, kita sudah berteman begitu lama, bukan aku tidak percaya padamu, tapi, aku hanya... hanya mengkhawatirkanmu, itu saja.” kata Jack hati-hati, takut jika Alan akan merasa tersinggung lagi.

“Thanks, Jack.” ujar Alan lirih.

Lalu perjalanan mereka pun diisi dengan membaca buku dan saling tanya jawab mengenai soal-soal yang mungkin akan keluar dalam ujian nanti.

Sinar matahari menerobos masuk ke dalam ruang kelas mereka melalui kaca-kaca jendela, semua anak duduk dengan kepala masing-masing menunduk rendah di atas soal ujian mereka yang hanya diberi waktu dua jam oleh Mrs Brown untuk menyelesaikan soal-soal ujian mereka, tapi semua soal-soal itu sudah selesai di kerjakan oleh Alan ketika ujian baru berlangsung selama lima belas menit, dan setelah itu Alan mulai melakukan pekerjaan yang paling dia sukai di seluruh dunia—pekerjaan yang selalu membuat jantungnya berdebar-debar ketika dia melakukannya hingga aliran Adrenalin langsung membanjiri pembuluh darahnya. Setelah melirik ke kanan-kiri untuk memastikan tidak ada yang memperhatikan dirinya, karena semua anak masih tampak sibuk dengan soal-soal di depan mereka, maka Alan langsung menatap ke arah jam satu melewati empat meja di depannya, hingga pandangannya jatuh kepada seorang gadis yang sangat cantik, kulit gadis itu putih halus seperti pualam, rambut cokelatnya terurai ketika dia menundukan kepalanya mengerjakan soal-soal ujian dan saat gadis itu menengok ke kiri untuk melihat jam besar yang ada di atas mereka nampak mata biru yang dimilikinya luar biasa indah. Kegairahan membuncah di dasar perut Alan, seakan ada salah satu organnya yang sedang berjalan-jalan di dalam perutnya, dan dengan ketakjuban yang sejenak menghipnotis pikirannya, Alan memandang bidadari mungilnya sampai tubuhnya membeku bak patung, hingga dia tidak sadar ujian telah selesai.

“Letakan pena, kalian!” seru Mrs Brown keras, “Dan kau Mr John, cepat kumpulkan soal dan jawaban teman-temanmu, dan kalian tetap duduk di tempat sementara Mr John berkeliling mengumpulkan semua hasil ujian kalian!” hardiknya ketika ada seorang anak yang tengah berdiri mau keluar kelas.

‘Duk’

Sebuah bola kertas melambung mengenai bagian belakang kepala Alan, dan saat dirinya menengok untuk melihat siapa yang baru melemparnya.

“Bagaimana, apa kau sudah selasai?” bisik Jack, yang duduk dua meja di belakang Alan.

“Lima belas menit ketika ujian baru dimulai.” ujar Alan tersenyum.

Dan ketika semua anak sudah berdiri, Jack langsung menghampiri Alan, “Ayo kita pergi ke kantin, perutku lapar sekali... kau tahu, tadi aku tidak sempat sarapan karena kau terlalu lama berdandan untuk pergi ke sekolah.” ledek Jack, tersenyum jail.

“Bagus sekali.” dengus Alan.

Kantin mereka terletak di belakang kelas laboratorium kimia, dan ada sekitar lima belas meja panjang yang memenuhi ruangan kantin yang ukurannya dua kali dari kelas mereka, di sudut kantin ada banyak stan yang menjajakan banyak menu makanan, mulai dari steak, ayam goreng, minuman ringan dan masih banyak lagi. Alan mengisi nampan miliknya sedikit-sedikit, tapi Jack malah sebaliknya dia menyambar nampannya dan mulai mengisinya penuh-penuh dengan hampir semua makanan yang ada disitu.

“Menurutmu apakah tidak sebaiknya kau mulai menceritakan mimpimu itu kepada orangtuamu?” kata jack, sambil mengunyah ayam gorengnya.

“Kurasa tidak, aku tidak mau membuat Mom dan Dad kuatir karena sebuah mimpi konyol.” gumam Alan, memainkan makanan yang ada di nampannya dengan menggunakan garpu.

“Tapi kau tidak bisa diam seperti ini terus, kan.” kata Jack, agak mengernyit.

Tapi ada sesuatu yang mencuri perhatian Alan, dia baru saja melihat serombongan anak perempuan masuk ke dalam kantin, dan dirombongan itu juga ada cewek yang selama satu setengah jam lebih di pandanginya tadi sewaktu ujian. Langsung saja isi perut Alan menggeliat seolah semua organnya sedang menari di dalamnya, bahkan Alan tidak bisa melepas pandangannya dari gadis itu, dan mendadak tanpa di sadarinya tiba-tiba matanya bertatapan langsung dengan mata biru cemerlang milik gadis itu yang sontak langsung membuat tubuhnya seperti baru saja tersengat aliran listrik sekeras 100.000 Volt, dan dia tak dapat bergerak, Hanya badannya saja yang bergetar hebat hingga keringat dingin pun mengalir dari kening dan pelipis wajahnya yang sekarang berwarna merah jambu. Kejadian itu begitu cepat sampai sebuah suara membangunkannya dari sebuah fantasi paling aneh yang sedang di alaminya.
“Alan, apakah kau mendengarku!” tegur Jack, menatap Alan yang masih melongo bodoh. ”Hello... Alan!”

“Maaf, tadi kau bicara apa?” kata Alan, yang matanya masih memandang penuh arti kepada sesosok cewek yang kini duduk sambil mengobrol riang bersama teman-teman ceweknya.

“Ya, betul... pantas saja, Aurellia Evaline Swan.” gumam Jack, dengan suara dramatis. “Gadis paling cantik dan mempesona di sekolah kita.” sindirnya sambil ikut memandang serombongan cewek yang tengah tertawa sekarang, “Alan, jujur, aku heran padamu, kenapa kau tidak katakan saja padanya bahwa kau menyukainya?”

“Apa kau sudah gila! Bagaimana kalau dia hanya diam saja, dan hanya menatapku dan memandangku seakan aku ini Yeti atau apa, begitu!” kata Alan, mendadak gugup.

“he...he...he.... dia tidak akan melakukan itu padamu, sobat, dan asal kau tahu sudah menjadi rahasia umum di sekolah ini kalau kalian berdua sebenarnya saling menyukai.” kata Jack, geli melihat tampang Alan yang air mukanya berubah dari ngeri menjadi merah padam.

“Entahlah, Jack... setiap aku berada di dekatnya ataupun ketika mata kami bertatapan pasti aku selalu menjadi patung bodoh yang tidak berguna.” gumam Alan, agak lemah.

“Suatu hari nanti, kau pasti akan menemukan caranya, sobat. Cara yang begitu mudah jika kau memiliki sedikit keberanian di dalam hatimu, karena hanya hal itu yang tidak kau miliki selama ini, kawan.” kata Jack, bijak.

“Yah, mungkin kau ada benarnya juga.” ujar Alan, seraya memperhatikan Aurell dan teman-temannya pergi meninggalkan kantin. “Aku memang terlalu takut mengutarakan perasaanku padanya...”

***

Pada saat makan malam di dapur Mrs Sadler yang bersih, Alan masih termenung menghadapi makanannya, pikirannya masih penuh dengan kata-kata Jack tadi siang di kantin, Jack benar dia harus segera bicara dengan Aurell tentang perasaannya, karena jika tidak dia bisa gila atau yang lebih parah lagi ada orang lain yang akan mengatakannya kepada Aurell. Dan semua pikiran memusingkan itu mulai membuat dirinya kembali memainkan makanan yang ada depannya.

“Alan, kau baik-baik saja, dear?” tanya Mrs Sadler lembut, “Seusai pulang sekolah kau diam saja, apakah tadi kau bisa mengerjakan ujianmu, sayang?” tambahnya, membungkuk memandang Alan.

Alan menggelengkan kepala kuat-kuat dan mulai menyuap daging rebus ke dalam mulutnya. “Aku tidak apa-apa, Mom... a—aku cuma merasa agak kurang enak badan dan ujian tadi, sangat mudah seperti biasanya.” katanya, agak sedikit berbohong.

“Apakah kau mau kuambilkan obat, Alan?” tanya Mrs Sadler, kelihatan cemas.

“Tidak usah, Mom, thanks. Kurasa aku hanya kecapaian saja, kok.” kata Alan, kembali berbohong.

“Apa kau yakin?”

“Seratus persen.”

Lama Alan terdiam, dan dengan sedikit waswas memandang ke arah ayahnya, Mr Sadler.
”Dad boleh aku tanya sesuatu padamu?” kata Alan, menatap ayahnya dengan memasang mimik muka serius di wajahnya.

“Tentu saja, nak.” ujar Mr Sadler, sedikit tersenyum. “Apa saat ini ada yang mengganggu pikiranmu, jagoan?”

“Aku, yah—tapi kalian jangan tertawa, oke!” kata Alan menantang hingga wajahnya semakin lama semakin merah.

“Kau bisa mempercayai kami, nak.” senyum Mr Sadler, mengerling ke arah isterinya.

“Oke, begini persoalannya, ya—aku menyukai seorang cewek di sekolah, namanya Aurell, tapi aku tidak tahu bagaimana, maksudku—bagaimana cara menyampaikan perasaanku ini padanya.” kata Alan cepat, “Kalian tahu, aku tidak pernah berpacaran sebelumnya, kan, nah, sekarang silakan tertawa!” tantangnya.

“Kami tidak akan tertawa, nak,” ujar Mr Sadler, Alan mengerjap, “Itu adalah hal yang alami bagi anak seumur kau, dan aku masih ingat ketika pertama kali mencoba mendekati ibumu.” matanya kembali melirik ke arah isterinya, “Dan kau tahu apa yang aku lakukan? Aku berpura-pura sakit kepala hebat—waktu itu ibumu masih bekerja sebagai seorang perawat di salah satu klinik, dan aku menemui ibumu untuk di periksa setiap hari selepas jam dua belas siang, karena aku tahu pada jam segitu para dokter biasanya sedang istirahat untuk makan siang. Ya, pertama kali ibumu menolak untuk memeriksaku dan mengatakan untuk kembali lagi nanti setelah Dr Henry datang, tapi aku tidak hilang akal, nak, aku terus merajuk padanya untuk di periksa dan sampai akhirnya ibumu bersedia untuk memeriksa kepalaku dan kau tahu, nak, aku menikmati betul saat jemari-jemari ibumu membelai rambutku untuk memeriksa di bagian mana kepalaku yang sakit. Setelah itu aku berkenalan dengannya dan tanpa basa-basi aku langsung mengajak ibumu untuk berkencan denganku.” kenang Mr Sadler, mengakhiri ceritanya.

“Ya, tapi ayahmu membutuhkan waktu hampir tiga bulan, untuk merayuku agar aku mau berkencan dengannya.” koreksi Mrs Sadler, sedikit tertawa.

“Itu tidak bisa kupungkiri memang, tapi intinya nak, perempuan itu adalah makhluk yang sangat kompleks, maka dari itu perlu di perlakukan dengan sangat hati-hati. Dan yang terpenting yang kau butuhkan untuk menggapainya adalah dengan sedikit keberanian dan waktu yang tepat, baru setelah itu kau bisa mendapatkan hatinya. Apakah kau mengerti maksudku, nak?” tanya Mr Sadler.

“Ya, semuanya hanya soal keberanian kita saja untuk menghadapi mereka, betul kan, dad!” kata Alan lesu.

“Tepat sekali, nak.”

“Boleh aku ke atas duluan, aku baru ingat tadi Mrs Brown memberikan tugas pada kami dan besok harus sudah di kumpulkan.” kata Alan berbohong, beranjak dari meja makan dan bergegas menaiki anak tangga yang menuju kamarnya.

Setelah didalam kamar Alan langsung merebahkan tubuhnya di kasur, mata orangenya melayang memandangi langit hitam melalui jendela kamarnya, otaknya penuh dengan kata-kata ayahnya dan Jack soal keberanian yang selama ini tidak dimilikinya.
Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan ini, pikirnya; besok setelah pelajaran usai dia harus menemui Aurell dan mau tidak mau harus menyatakan perasaannya sebelum keberaniannya hilang. Tapi bagaimana cara memulai percakapannya? dia tidak mau terlihat bodoh nanti di depan Aurell, karena tidak bisa memilih kata-kata yang tepat untuk berbicara. Alan sekarang berjalan mondar-mandir di dalam kamar, otaknya kosong karena tidak bisa menemukan satu pun kata yang tepat untuk memulai pmbicaraan.

“Er..er... Aurell lama kita tidak berjumpa, maukah kau berjalan denganku sebentar?” tidak, pikir Alan, itu terlalu bodoh. ”Er, Aurell, kudengar sekarang ada film yang bagus di bioskop, er, apakah kau mau menontonnya bersamaku? Ya, untuk mengetahui apakah film itu benar-benar bagus, maksudku...” tidak, tidak, pikirnya, terlalu konyol dan amatir. “E..e... hey, apa kabar? Aurell, apakah kau tahu bahwa sebenarnya di mars itu ada kehidupan tadinya... Arghhhhhhhhh…!!!!!” (Tuhan... bagaimana caranya... please, help me... help me, please)...”

Dan setelah hampir selama dua jam, Alan berlatih memulai percakapan seperti orang gila bodoh yang bicara pada cermin seolah-seolah cermin itu bisa mendengarnya dan berbicara kembali padanya, Alan pun langsung merebahkan kembali badannya di kasurnya yang empuk, puas pada akhirnya dia bisa menemukan kalimat yang tepat yang tidak akan membuatnya kelihatan bodoh di depan Aurell besok. Matanya terpejam memikirkan hari esok yang masih tanda tanya, dan setelah membayangkan dan menguatkan dirinya bahwa Aurell tidak akan lari ataupun memandangnya seperti orang bodoh yang berasal dari planet lain, akhirnya dia pun tertidur.

Alan menaiki kuda seputih salju yang dengan elok melayang memasuki pertempuran, di tangan kanannya tergenggam sebuah pedang bermata dua yang kini memendarkan cahaya biru, sementara tangannya yang lain memegang kendali pada si kuda. Teriakan, erangan, dan hantaman tombak dan pedang yang beradu menyelimuti padang rumput kering tempat mereka bertarung, jiwanya terbakar dengan emosi, hanya satu yang dirasakan dan diinginkannya, membunuh semua mahkluk yang ada di hadapannya.
Dengan satu hentakan kuat Alan mengayunkan pedang mata duanya, seleret cahaya biru muncul di kedua mata pedangnya seperti menciptakan sebuah kilatan petir yang langsung menghantam orang-orang di depannya ketika pedang itu di kibaskan.
“LORD KNIGHT VRYYU!” raung suara menggelegar di depannya.

Alan terbangun dengan kaget, dia langsung terduduk di tempat tidurnya, agak sedikit tersengal seakan dia baru saja habis berlari, seluruh wajahnya bersimbah keringat, piamanya menempel ketubuhnya, dirinya mandi keringat, buru-buru Alan membuka piamanya dan langsung berjalan cepat menghampiri cermin sambil membalikkan tubuhnya.

“Sudah kuduga,” gumamnya memandang punggungnya di cermin dan melihat tato sayap malaikat yang terukir di punggungnya kini menyala dengan warna merah terang, membuat liuk-liukan garis di punggungnya benar-benar menyerupai sayap malaikat yang tengah terbakar. “Apa maksudnya semua ini, aku benar-benar tidak mengerti, kenapa mimpi-mimpi aneh itu selalu datang dan kenapa pula tatoku selalu bercahaya mengerikan seperti ini, pasti ada penjelasan yang rasional terhadap semua ini.” kata Alan pada dirinya sendiri, yang sekarang melangkah mendekati jendela.

langit masih gelap, pohon-pohon yang ada di depan rumahnya bergoyang menyeramkan di terpa angin, pekarangan di depan rumahnya hanya di terangi sedikit sinar bulan dan lampu-lampu jalanan yang pucat—Alan memang sengaja tidak menutup jendela kamarnya waktu dia tertidur tadi saat memikirkan sikap Aurell besok, semilir angin dingin merayap menggerayangi tubuhnya yang tadi basah bersimbah keringat, sesaat dirinya merasakan perasaan nyaman dengan perubahan suasana ini, mengingat lima menit yang lalu dia merasakan tubuhnya seolah terbakar.

Dirinya tetap membiarkan jendelanya agar terbuka untuk mengundang angin masuk ke kamarnya, dengan menelentangkan tubuhnya di atas kasur dan dengan kedua tangan terlipat di kepala, Alan memandang langit-langit di atas kamarnya, pikirannya menerawang pada mimpi yang baru saja di lihatnya.

Siapa sebenarnya, Lord Knight Vryyu, itu? Dan kenapa orang yang berteriak itu tampak marah sekali padanya, pikir Alan bingung, membalikkan tubuhnya ke samping dan setelah beberapa saat tertidur lagi. Dirinya terbangun ketika pagi menjelang dan baru ingat, bahwa hari ini adalah hari penentuan baginya untuk menguji sampai sejauh mana keberaniannya untuk menghadapi tatapan teduh Aurell.

***

Selama jam pelajaran berlangsung, Alan tidak bisa konsentrasi, pikirannya penuh dengan kalimat-kalimat yang sudah di persiapkannya untuk menghadapi Aurell nanti, sampai-sampai ketika makan siang di kantin pun Alan tidak menyentuh sedikit pun makanannya. Jack yang bingung dengan sikap Alan hari ini, beranggapan bahwa Alan sudah sangat keterlaluan gara-gara mimpi anehnya, padahal bukan itu yang sedang di pikirkannya, baru setelah Alan bercerita bahwa hari ini dia akan mengutarakan perasaannya pada Aurell, Jack langsung membuat gerakan kemenangan dengan mengangkat kedua tangannya, seperti seorang pemain sepak bola yang baru saja mencetak gol bagi kesebelasannya dengan tertawa tergelak-gelak, sampai membuat beberapa siswa perempuan yang sedang makan di sekitarnya melirik melecehkan.

“Hey, kendalikan dirimu!” seru Alan sengit, seringai enggan merekah di wajahnya, ketika melihat Jack tertawa seperti orang gila sambil memukul-mukul meja dengan nada yang tidak beraturan.

“Sorry bro, sorry... jujur aku shock mendengarnya dan aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan kebanggaanku pada keberanianmu, sobat.” cengir jack, masih terus menahan tawa di wajahnya.

“Oh, diam kau!” dengus Alan, “Dengar, setelah pelajaran usai, kau langsung keluar dari kelas dan jangan menungguku—aku benar-benar ingin sendiri ketika berbicara dengan Aurell, apa kau mengerti?”

“Yes, Sir!” seru Jack, mengangkat tangan untuk memberikan hormat pada Alan.

Detik demi detik berjalan lambat, Alan berkali-kali melirik arlojinya berharap pelajaran segera selesai, dan setelah Mrs Smith memberikan Pr dan memberitahukan mereka semua bahwa minggu depan dia akan memberikan ujian tambahan yang langsung di sambut anak-anak dengan sorakan ‘Whuu’ pelan, pelajaran pun selesai. Anak-anak mulai berdiri untuk meninggalkan kelas, tampak Aurell juga hendak berdiri sebelum secara tiba-tiba tas sekolahnya terjatuh ke lantai, hingga membuat buku-buku tebal dan beberapa pena miliknya bertebaran di bawah kakinya—sebuah hal aneh yang bisa saja terjadi dalam keadaan yang tidak terduga-duga.

Ini saatnya, gumam Alan dalam hati, kini kelas hanya tinggal mereka berdua dan sudah tidak ada waktu lagi untuk mundur. Tanpa berpikir panjang lagi, Alan langsung menghampiri Aurell yang masih sibuk membereskan buku-bukunya yang tersebar di lantai.

“Boleh kubantu?” sapa Alan agak kikuk, perutnya mendadak beputar dengan sendirinya.

“Oh... iya—tentu saja.” kata Aurell sedikit terkejut, memungut buku fisika untuk tingkat sebelas. “Aku tidak tahu, kenapa aku begitu ceroboh sampai tasku bisa terjatuh begitu—thanks...” ujarnya, saat menerima buku dan pena yang diberikan oleh Alan, seraya memandang mata orange milik Alan, “M—matamu indah sekali, jika kulihat dari dekat, apakah kau... maksudku... bagaimana... sorry, kenapa aku mendadak menjadi gugup begini.” katanya sedikit panik, langsung memasukan buku-buku serta penanya ke dalam tas dan bangkit berdiri, rona merah menyapu wajahnya.

“Kau juga memiliki mata yang indah... maksudku, sangat indah.” puji Alan, menyerahkan pena terakhir kepada Aurell, dan dalam kondisi seperti ini, dirinya tidak akan heran jika jantungnya tiba-tiba meloncat keluar dari tubuhnya dan langsung terjun bebas dari atas jendela kelas.

“Oh, thanks...” kata Aurell gugup. “Oke, terima kasih, ya, Alan, sudah mau membantuku... maksudku, sampai jumpa lagi.” tambahnya tersenyum, melangkah untuk meninggalkan kelas.

Melihat bahwa kesempatan langka seperti ini tidak akan datang dua kali dalam hidupnya.

“Aurell...” panggil Alan pelan, tangannya melayang bodoh hendak mengapai udara di belakang Aurell.

“Iya,” ujar Aurell, mengerlingkan matanya untuk menatap Alan yang ada di belakangnya, membuat beberapa helai rambut cokelatnya berterbangan indah di sekitar kepalanya saat dia menengok ke arah Alan, sungguh pemandangan yang bisa membuat jantung Alan mendadak meledak di dalam rongga dadanya dengan bunyi ‘Duk’ pelan.

“Er... bisa bicara sebentar, maksudku, apakah kau punya waktu sebentar?” tanya Alan gugup bukan main, wajahnya sekarang sudah benar-benar merah padam saking nervousnya.

“Tentu saja, aku tidak buru-buru, kok.” gumam Aurell, rona merah kembali merambati wajahnya.

“Begini, er... apakah kau tahu sebenarnya seberapa jauh jarak bumi ke Pluto, ya?” kata Alan ngaco.

“Excuseme?”

“Maaf, maksudku...” keringat dingin mulai mengalir di pelipis Alan, dirinya sekarang benar-benar tidak bisa mengingat satu patah kata pun yang sudah dihapalkannya mati-matian tadi malam, dan tampangnya sekarang sudah pasti terlihat sangat bodoh sekali di depan Aurell. Tanpa pikir panjang lagi, Alan langsung memejamkan kedua matanya sambil menghirup napas panjang-panjang, sampai beberapa kali.

“Alan, kau tidak apa-apa?” tanya Aurell cemas, melihat sikap Alan yang mendadak aneh begini.

“Aurell,” gumam Alan pelan, mulai membuka kedua matanya.

“Ya,”

“Aku tahu, ini pasti kelihatan bodoh atau bahkan terdengar konyol malah... tapi, saat ini aku hanya bisa berpikir bahwa momen seperti ini tidak akan terjadi untuk kedua kalinya.” kata Alan, menatap Aurell yang kini diam tertegun. “Dan aku pun tidak menyalahkanmu jika kau langsung menertawakanku dan pergi meninggalkanku tanpa mau menemuiku lagi, karena kini bagiku hal itu tidak menjadi masalah lagi...”

“Alan,” desah Aurell lemah, dengan mata seolah tidak percaya.

“Aurell...” gumam Alan seraya menelan ludah. ”Aku menyukaimu sejak dari tiga tahun yang lalu, sejak kita pertama kali bertemu di taman kota dan semenjak itu aku tidak bisa menyingkirkanmu dari pikiranku.” kata Alan cepat—picisan, dengan suara hampir tercekik.

Setelah Alan menyatakan hal itu, dirinya langsung memejamkan kembali kedua matanya beberapa saat, puas karena telah menyelesaikan ujian terberatnya. Ternyata semua ini lebih mudah di praktekan dari pada di pikirkan, dan ketika dia membuka kedua matanya lagi, terpandang olehnya Aurell tengah menundukan kepalanya seolah menatap lantai di kakinya, dan saat dia mengangkat kepalanya, tampak kedua mata birunya tengah berkaca-kaca.

“Maaf, Alan... aku... aku tidak bisa...” ratap Aurell lemah.

BAB I

Mimpi Yang Menjadi Kenyataan

Matahari mulai merekah pada selasa pagi yang hangat di Mainfreed Town, New Jersey. Dan belaian lembut Mrs Sadler perlahan membangunkan Mr Sadler dari tidurnya yang lelap.
“Tom... bangunlah, sudah pagi, nanti kau akan terlambat ke kantor jika tidak lekas bangun.” ujar Mrs Sadler lembut, kepada suaminya.
“Ehmm... yeah...”
Dan usai mengecup pipi Mr Sadler, lalu Mrs Sadler pun beranjak meninggalkan kamar mereka.
Matahari sudah benar-benar terbit sekarang, lingkaran jingganya muncul dari atas bingkai jendela kamar, sinarnya yang lembut menerangi sebuah foto usang terawat yang berdiri di tengah meja yang di dalamnya terukir wajah-wajah bahagia yang menggoda saat pesta perkawinan Mr dan Mrs Sadler yang sedang berada di tengah lautan teman-temannya yang ikut tertawa bahagia bersamanya.
Hari-hari yang dilalui Mr Sadler sebenarnya terhitung biasa pada masyarakat umumnya, dirinya tinggal bersama isterinya yang begitu di cintainya di sebuah kota kecil yang bernama Mainfreed Town, New Jersey. Mereka pembayar pajak yang baik dan terbilang tetangga yang cukup ramah di lingkungan perumahan mereka.
Keseharian Mr Sadler hanya di isi dengan bekerja dan terus bekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi sepatu, yang bernama Great Shop. Dirinya cukup beruntung, karena pengabdiannya selama hampir dua puluh tahun di perusahaan itu telah mengantarkannya ke posisi sebagai manajer operasional, dan isteri Mr Sadler, Mrs Sadler, bisa di bilang sebagai wanita tercantik di lingkungan perumahan mereka, untuk ukuran wanita yang sudah berumur di atas empat puluh tahun, dengan rambut pirang bergelombang dan memiliki wajah yang cukup eksotis, penampilannya yang selalu membangkitkan rasa hormat sering membuat dirinya terpilih sebagai ketua dalam berbagai kegiatan amal maupun himpunan kalangan ibu-ibu yang ada di lingkungan perumahan mereka.
Dan pada dasarnya keluarga Sadler adalah keluarga yang bahagia dan harmonis, bahkan bisa di bilang nyaris tidak seorang pun di lingkungan itu yang pernah melihat mereka bertengkar, ini dikarenakan setiap hari-hari yang mereka lalui selalu di isi dengan saling pengertian antara keduanya.
Namun terlepas dari itu semua ada satu kekurangan yang menghinggapi keluarga itu, sebuah ketiadaan yang selalu membuat Mr Sadler berjam-jam tidak tidur pada malam harinya—keluarga Sadler telah menikah hampir selama delapan belas tahun, akan tetapi sampai detik ini mereka belum juga di karuniai satu anak pun. Tapi meskipun begitu dirinya tidak pernah menyinggung hal ini, karena dia tahu bahwa isterinya, Mrs Sadler, pasti akan langsung menangis dan baru berhenti setelah berjam-jam lamanya—jika Mr Sadler sampai keceplosan memberitahukan perihal kegundahan hatinya ini pada isterinya.
Dan tadi malam Mr Sadler kembali terjaga dalam tidurnya, sewaktu jam sudah menunjukan pukul tiga pagi. Seketika itu juga rasa kantuknya langsung hilang, tatkala dirinya mengenang saat-saat terakhir dalam mimpinya barusan. Dimana dalam mimpi itu dirinya lagi-lagi di hadirkan kembali bersama seorang anak laki-laki kecil berambut hitam lurus persis seperti rambutnya yang tengah bermain bersama dirinya. Tapi yang lebih istimewa dari mimpi itu—yang membuat sebagian dari dirinya tidak ingin jika mimpi itu harus berakhir, di karenakan anak berambut hitam dalam mimpinya itu selalu memanggil dirinya dengan sebutan ayah. Hingga tak terasa tatkala dirinya usai bermimpi tadi malam dari wajah yang cekung dan menyiratkan kelelahan itu bergulir setitik air mata—linangan air mata yang tidak hanya sekali menghiasi lekuk pipi cekungnya, karena mimpi seperti ini tidak hanya satu dua kali menghinggapi sela-sela tidurnya dalam setiap malamnya.
Perlahan Mr Sadler mulai membuka matanya, dan setelah menghela napas yang panjang dia pun bangkit meninggalkan kamar.
Dari dalam dapur Mrs Sadler yang bersih sudah tercium aroma sosis panggang yang cukup mengudang air liur, dan dilihatnya isterinya sedang menyiapkan menu makan paginya yang berupa daging asap, roti panggang dan sosis panggang yang berminyak dan besar-besar.
“Apa kau akan pulang larut lagi malam ini, Tom?” tanya Mrs Sadler sambil mengoleskan roti dengan mentega dan menaruhnya di piring suaminya.
“Tidak, tentu saja tidak, Joane sayang.” kata Mr Sadler lembut “Mr Eisenbud rupanya telah menyadari, kenapa akhir-akhir ini pemasaran sepatu kami menurun omzetnya.”
“Memangnya apa yang terjadi?” tanya Mrs Sadler, melirik suaminya.
“Yah, menurutnya model-model sepatu kami sudah ketinggalan jaman dan kalah bersaing dengan merek-merek baru—yang sudah pasti memiliki desain yang lebih moderen, katanya.” gumam Mr Sadler sambil memasukan sosis terakhir di piringnya ke dalam mulutnya.
“Oh, begitu...”
“Baiklah, Joane, aku harus pergi sekarang, karena kalau tidak Mr Eisenbud akan langsung memarahiku, jika aku sampai terlambat sedetik saja.” senyum Mr Sadler, beranjak bangkit dari kursi meja makan.
Selesai Mrs Sadler merapikan dasi suaminya, dia lalu mengambil tas kerja Mr. Sadler yang ada di sudut ruangan dan memberikan tas itu kepada suaminya.
“Trims, dear.” gumam Mr Sadler, sembari mengecup pipi istrinya.
“Hati-hati di jalan, Tom.” ujar Mrs Sadler.
“Tentu saja, bye darling.” sahut Mr Sadler, berjalan menuju mobilnya.
Setelah berada di dalam mobil, Mr Sadler kembali teringat akan mimpinya tadi malam dan hingga agak melamun ketika mengendarai mobil—terlalu asik dengan fantasi dalam mimpinya, sampai-sampai dia hampir saja menabrak penjual ice cream keliling yang sedang memakirkan mobilnya di pinggir jalan. Untung tidak sampai terjadi kecelakaan, karena dirinya langsung tersadar dan sigap hingga berhasil membelokkan mobilnya pada saat yang tepat. Mr Sadler menepikan mobilnya sejenak, memejamkan mata dengan tangan mencengkram kuat pada kemudi setir, “Aku harus kuat...” gumam Mr. Sadler kepada dirinya sendiri. Dan setelah itu dia melanjutkan lagi perjalanannya.

Dan saat dirinya tengah memasuki gedung kantor dan berjalan di dalam koridor yang mulai ramai dengan pegawai yang baru berdatangan, Mr Sadler langsung menghentikan langkahnya seraya menengok ke belakang—ada orang yang tengah memanggil-manggil namanya.
“Tom... tunggu... tunggu sebentar...” seru suara laki-laki di belakangnya.
Tampak seorang laki-laki agak gemuk setengah berlari ke arahnya.
“Ada apa, Grill? Kenapa kau terburu-buru, begitu?” tanya Mr Sadler keheranan.
“Oh, Tom... aku mencarimu kemana-mana dari tadi, kau tahu.” sengal pria yang bernama Grill, mengurut dadanya, tampak wajahnya yang bundar agak sedikit berkeringat.
“Memangnya ada apa, Grill?” tanya Mr Sadler, mengulang kembali kata-katanya dan menatap heran pada Grill.
“Mr Eisenbud... dia menunggumu di ruangannya... dia ingin bertemu denganmu...” kata Grill, masih berusaha mengatur nafasnya, yang naik turun tidak normal.
“Mr Eisenbud,” ulang Mr Sadler. “Ada perlu apa dia denganku?” ujarnya, sekarang benar-benar heran.
“Aku tidak begitu tahu... tapi kelihatannya dia senang sekali, dan kalau kau tanya padaku, sepertinya ini tentang hasil presentasimu tempo hari... sekarang sebaiknya kau cepat pergi menemuinya, karena kalau tidak nanti dia akan memarahiku lagi, ayo cepat...” seru Grill sengit, setengah mendorong Mr Sadler.
“Kuharap ini berarti kabar baik seperti yang kau bilang tadi... dan oya, terimakasih, Grill.”
Mr Sadler pun langsung pergi meninggalkan Grill yang masih mengurut-urut dadanya.
“Terburu-buru, Tom?” sapa seorang wanita jangkung yang tengah membawa setumpuk map di tangannya.
“Ada sedikit urusan, Terry.” ujar Mr Sadler, tersenyum ramah. “Ya, tadi Grill bilang, aku di panggil oleh Mr Eisenbud ke ruangannya, apakah kau tahu ada apa, Terry?”
“Oh, begitu...” ujar wanita yang bernama Terry, wajahnya menyiratkan pemahaman. “Semoga sukses Tom, kudengar dia akan berencana mempromosikanmu, loh.”
“Benarkah begitu yang kau dengar, Terry?” kata Mr Sadler antusias, senyum merekah di wajahnya.
“Seratus persen.” jawab Terry, kalem.

Mr Sadler terus berjalan sampai ke ujung koridor, berhenti di depan sebuah pintu, dan mengetuk pelan sampai tiga kali.
“Ya, masuk...” ujar suara di dalam ruangan.
Dengan sedikit canggung Mr Sadler membuka pintu di depannya dan masuk ke dalam ruangan yang cukup besar, dimana ada jendela yang tirainya agak terbuka untuk membiarkan sinar matahari masuk ke dalam, dan terdapat juga ruangan untuk tamu dengan tiga buah kursi berlengan empuk dan nyaman. Dinding-dinding di ruangan itu dihiasi oleh bingkai-bingkai berisi foto model-model sepatu, dan di sudut paling tengah ruangan duduk seorang pria besar gemuk nyaris tanpa leher, dengan wajah bundar dan berkepala botak, tampak sedang sibuk menulis sesuatu di atas meja kerjanya, namun ketika dia menengok untuk melihat siapa yang datang.
“Ahh, Thomas...” seru pria besar itu berdiri dan langsung menjabat tangan Mr Sadler. “Aku sudah menunggumu dari tadi, kau tahu.”
“Anda memanggil saya, Sir?” ujar Mr Sadler gugup.
“Ya, tentu, tentu, silakan duduk.” ujar Mr Eisenbud ceria. “Begini, Tom, kau tahu presentasimu pada hari jum’at yang lalu itu benar-benar sangat bagus, dan Mr Tredget sangat puas sekali, terutama pada gambar desain-desain sepatu yang kau ajukan—dia menyukainya, dan beliau berpendapat jika sepatu-sepatu itu diluncurkan ke pasaran, tentu akan mendapat respon yang sangat positif sekali dari para customer kita. Maka dari itu, tentunya jika kau tidak keberatan, ya, Mr Tredget ingin menunjukmu sebagai manajer produksi yang baru, untuk menggantikan Mr Gueswelle yang akan pensiun beberapa bulan lagi, bagaimana menurutmu, Tom?”
Eksperesi Mr Sadler langsung berubah dari kebingungan menjadi kegirangan. “Anda serius, Sir?” serunya tidak percaya.
“Ya, apa ada masalah dengan hal itu?” kata Mr Eisenbud, wajahnya agak sedikit mengernyit.
“Tidak, tentu saja tidak, Sir.” kata Mr Sadler masih tidak bisa menyembunyikan kegirangannya.
“Dan sebagai tambahan dari Mr Tredged, beliau berencana akan memberikan bonus padamu, berupa liburan selama satu minggu di danau Michigan, sebagai ucapan terimakasih karena telah membantu memberikan solusi kepada perusahaan di saat keadaan genting seperti ini, bagaimana, Tom?” tambahnya sembari tersenyum.
“No way! Anda pasti bercanda, Sir...”
Wajah Mr Sadler sekarang sudah seperti orang yang baru pertama kali mendarat di bulan, dia begitu terpana sampai hanya bisa ternganga menatap tidak percaya pada Mr Eisenbud yang menatapnya balik sambil tersenyum simpul.
“Kau tahu aku orang yang tidak suka bercanda, Tom.” seru Mr Eisenbud, telah kembali kesikapnya yang serius. “Nah, kuharap kau bisa terus memberikan ide-ide cemerlang kepada perusahaan ini. Baiklah Tom, sekali lagi selamat atas posisi baru dan liburan yang pasti menyenangkan.” tambahnya sembari berdiri dan menjabat lagi tangan Mr Sadler yang masih tampak agak terguncang menerima kabar bahagia ini.

Segera saja selepas jam kerja usai Mr Sadler langsung keluar dari gedung kantor dan memacu mobilnya secepat dia bisa, untuk segera sampai ke rumah dan memberitahukan berita bahagia ini kepada isterinya.
“Joane... Joane, kau ada dimana?” teriak Mr Sadler, sembari masuk ke dalam rumah.
“Aku ada di dapur Tom, dan kenapa kau berteriak-teriak seperti itu?” tegur suara Mrs Sadler, yang beberapa saat kemudian muncul dari bilik dapur. “Ada apa, Tom? Kau kelihatannya senang sekali.” gumamnya heran, melihat suaminya berlonjak-lonjak kegirangan di depannya.
“Kau tidak akan percaya hal ini, Joane.” seru Mr Sadler bersemangat “Tadi pagi aku di panggil keruangan Mr Eisenbud, dan kau tahu, dia bilang padaku bahwa Mr Tredget menunjukku sebagai manajer produksi yang baru menggantikan si tua Gueswelle, dan kau tahu apa yang paling membuatku senang? Mr Tredget juga memberikan bonus padaku berupa liburan selama satu minggu penuh di danau Michigan!” tambahnya sedikit berteriak.
“Yang benar... oh, Tom, aku senang sekali mendengarnya.” kata Mrs Sadler dengan suara teredam, sembari merengkuh suaminya ke dalam pelukannya.
“Aku tidak akan seperti ini, jika kau tidak membantuku mengembangkan bahan untuk presentasiku tempo hari, dear.” puji Mr Sadler, mengecup kening istrinya.
***
Hari yang mereka tunggu pun tiba, dimana keluarga Sadler akan menghabiskan waktu selama satu minggu penuh liburan mereka di danau Michigan yang indah juga menawan, dan ketika Mr dan Mrs Sadler terbangun pada hari senin pagi yang cerah saat kisah kita ini baru dimulai, Mr Sadler tengah bersenandung riang sewaktu dia memasukan koper-koper yang penuh dan berat ke dalam bagasi mobilnya, dan isterinya, Mrs Sadler, sedang mempersiapkan bekal mereka untuk di perjalanan nanti di meja makan ruang dapurnya.
Tidak tampak akan terjadi hal-hal aneh ataupun misterius pagi ini, langit tampak cerah dan tidak berawan, burung-burung pun bernyanyi dengan riang ketika mencari cacing serta biji-bijian favorit mereka di pekarangan rumah Mr Sadler yang terawat dan asri.
Pukul setengah sembilan Mr dan Mrs Sadler pun berangkat meninggalkan rumah mereka yang nyaman menuju tempat liburan mereka di danau Michigan, perjalanan menuju danau Michigan di tempuh hampir selama tujuh jam, dua kali mereka berhenti untuk sekedar mengisi bensin ataupun beristirahat sambil menikmati bekal yang dibawa oleh Mrs Sadler. Maklum Mr Sadler kini sudah tidak muda lagi, di tambah tadi malam dia tidur larut sekali karena asik membayangkan betapa menyenangkannya jika dalam liburan kali ini, dirinya di temani anak laki-laki berambut hitam lurus yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya, mungkin dia bisa bermain-main dengan anak itu di pinggiran danau, atau sesekali memancing ikan dengan menggunakan sampan sampai ke tengah danau.
Hari sudah menjelang sore ketika mereka sampai di pondok penginapan (Mr Sadler sudah memesan penginapan itu dari jauh-jauh hari sebelumnya), mereka berdua sangat puas sekali, karena pondok penginapan yang mereka dapatkan ini hanya berjarak beberapa meter saja dari tepi danau.
Dengan bersemangat Mr Sadler langsung menurunkan koper-koper mereka dari dalam bagasi mobil dan membawanya masuk ke dalam pondok, sementara Mrs Sadler berjalan mendekati tepi danau, kedua tangannya terlipat ke dalam dadanya, sorot matanya yang biasanya terlihat tegar kini tergantikan dengan pandangan nanar berselaput pilu. Di lihatnya permukaan danau yang berkilat-kilat indah di tempa sinar matahari sore, dengan perasaan sedikit merana, dirinya kemudian menarik nafas panjang-panjang dan menghelanya sambil menundukan kepala menatap tepian air danau di kakinya.
Tanpa di sadari olehnya, sebuah tangan muncul dari belakang pundaknya dan merengkuh leher dan dadanya “Kau baik-baik saja, Joane? Selama perjalanan tadi wajahmu murung terus, apa yang sedang mengganggu pikiranmu, sayang?” tanya Mr Sadler, mengecup bagian belakang kepala isterinya.
“Ohh, Tom... kau tentu sudah tahu, apa yang selama delapan belas tahun ini mengganggu pikiranku...” keluh Mrs Sadler, menggenggam erat siku suaminya yang tengah merangkul dirinya. “Tapi entah mengapa, mendadak perasaan ini begitu kuat akhir-akhir ini, seolah aku tidak sanggup menahan rindu ini terlalu lama, dan rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk sekedar melepaskan sesuatu yang mengganjal hatiku selama ini, Tom.” tambahnya setengah meratap, bibirnya yang tipis bergetar seakan dia mau menangis.
“Iya, aku tahu, Joane... tapi sekarang kita harus kuat, karena bagiku, semua ini pasti ada hikmahnya, dan aku pasti akan keliru sekali, jika Tuhan tidak punya maksud dengan semua ini.” kata Mr Sadler lembut, mengencangkan pelukannya pada isterinya.
Mrs Sadler sedikit tertegun, matanya masih menatap kosong pada hamparan danau di depannya.
“Kurasa kita tidak mungkin semalaman di pinggir danau seperti ini, bukan.” ujar Mr Sadler dengan nada jenaka. “Aku harus membereskan isi dari koper-koper itu sebelum makan malam, dan kalau kau cukup tega untuk melihatku bebenah sendirian dengan koper-koper berat itu, ya, kurasa aku tidak begitu keberatan.” guraunya, melepaskan pelukannya dan membalikkan tubuh Mrs Sadler agar menghadapnya, kemudian mengecup kembali kening isterinya.
“Joane, semua akan baik-baik saja, apa kau percaya padaku?” kata Mr Sadler lembut di telinga isterinya, ketika memeluknya kembali.
“Aku percaya.” gumam Mrs Sadler di balik dada suaminya.
Lima belas menit kemudian mereka berdua pun berjalan menuju pondok dengan tangan Mr Sadler masih merangkul erat bahu isterinya. Makan malam mereka malam itu di penuhi dengan sedikit kehebohan, karena rupanya Mr Sadler sudah salah membawa satu buah koper, yang ternyata tidak berisi pakaian gantinya untuk selama satu minggu, melainkan peralatan golf lengkap berikut stiknya, “Pantas koper itu berat sekali, waktu aku mengangkatnya ke bagasi mobil” gerutu Mr. Sadler menyendok pai ayam, setumpuk daging asap dan kentang tumbuk ke atas piringnya yang tadi dibawa isterinya dari rumah.
Sementara itu, sehabis makan malam Mr dan Mrs Sadler duduk di depan beranda pondok mereka yang dinaungi oleh langit malam yang jernih dan bertabur bintang-bintang dan bulan yang cahayanya di pantulkan kembali lagi oleh permukaan danau yang halus, sehingga mengkanvaskan pemandangan yang sangat indah sekali di permukaan danau. Angin sepoi yang hangat bertiup dari jalan setapak membelai pepohonan yang ada di sekitarnya sehingga bergemerisik merdu, mengundang jangkrik-jangkrik untuk ikut bernyanyi bersamanya.
Dan tanpa peringatan sama sekali, sebuah meteor melesat menghujam ke arah mereka dari langit yang tidak berawan, dan secara refleks Mr Sadler merenggut tubuh isterinya untuk melindunginya dari kemungkinan terburuk, debu-debu langsung berterbangan ketika bola cahaya itu menyentuh bumi hingga getaran yang di timbulkannya cukup untuk membuat kaca-kaca pecah dan meja serta kursi yang di teras bermentalan ke segala arah.
Beberapa saat kemudian ketika hujan debu itu sudah mulai berangsur-angsur hilang, kemudian pelan-pelan Mr Sadler mulai melepaskan pelukannya dari isterinya.
“Kau tak apa-apa, Joane?” seru Mr Sadler panik bukan main.
“Iya, aku baik-baik saja, apa itu barusan, Tom? Aku takut sekali...” cicit Mrs Sadler wajahnya sangat pucat dan rambutnya penuh debu.
Perlahan lalu Mr Sadler bangkit sembari memapah isterinya untuk membantunya berdiri. ”Aku tidak tahu benda apa itu... tapi, sepertinya ada suara dari dalam benda itu, Joane...” sengal Mr Sadler, yang jantungnya berdegub di luar kewajaran, lututnya yang sedikit menonjol bergetar hebat seperti tak mampu menopang berat tubuhnya.
Benda yang tadi tampak seperti meteor itu meninggalkan lubang sedalam dua meter dengan lebar tiga meter di permukaan tanah, tepat di depan pondok, terlihat bagian depannya yang seperti nampaknya sebuah pintu agak sedikit terbuka beberapa senti—benda asing ini bentuknya begitu mirip dengan bola baseball berukuran raksasa yang mungkin cukup muat bila masuki oleh satu orang dewasa sekalipun, dan terlihat jelas dari permukaan benda asing ini mengepul beberapa asap putih tipis yang bergulung-gulung di udara. Mr Sadler sempat bertanya dalam hati, apakah ini adalah salah satu pesawat Alien yang mendarat di bumi untuk menjajah manusia.
“Tetap disini, Joane!” gumam Mr sadler waswas, sambil mengawasi benda aneh di depannya yang masih mengepulkan asap, wajahnya hampir sama pucatnya dengan lilin yang meleleh. Tanpa disadari kakinya melangkah mendekati benda misterius, lebih berani dari pada yang dia perkirakan.
“Kau mau kemana, Tom? Jangan coba-coba mendekati benda gila itu!” desis Mrs Sadler mengancam.
Dengan memungut sepotong kayu yang ada di sebelah kakinya, Mr Sadler berkata, “Tidak apa-apa, Joane, aku cuma ingin memeriksanya, sepertinya aku mendengar ada suara bayi dari dalam situ.”
“Tom...” desah Mrs Sadler gelisah.
Kemudian dengan takut-takut Mr Sadler mulai mendekati benda elips keperakkan yang masih teronggok dan mengeluarkan asap. Dengan jantung yang berdegub liar dia mencoba membuka pintu pada pesawat yang sudah agak terbuka sedikit, dan alangkah terkejutnya dia ketika mendapati seorang bayi laki-laki yang benar-benar bayi manusia tengah menangis dan dibalut oleh sehelai jubah berwarna hijau jambrut yang sangat indah, dan anehnya lagi saat mata bayi itu bertatapan dengan mata Mr Sadler, ajaibnya bayi itu langsung terdiam, tidak menangis lagi. Usia dari bayi misterius ini mungkin tidak lebih dari lima bulan, kulitnya putih seperti susu dan rambutnya hitam lurus seperti rambut Mr sadler dan yang lebih mengherankan bola mata bayi ini tidak seperti mata manusia pada umumnya—berwarna orange terang persis seperti mata elang.
Lama Mr Sadler tertegun mengamati bayi rapuh yang tampaknya tidak berbahaya, dan secara menggemaskan lalu bayi itu kemudian menghisap ibu jarinya sendiri. Melihat hal yang tidak terduga ini, dan sangat berbeda dari apa yang di bayangkannya sebelumnya, Mr Sadler tiba-tiba tersenyum hangat sambil terus mengamati sosok bayi lucu itu.
Suara Mrs Sadler membuyarkan lamunannya. “Kau baik-baik saja, Tom? Kenapa kau diam saja seperti itu? Apa yang ada di dalam situ? Apakah ada alien? Jawab aku, Tom?” pekik Mrs Sadler ketakutan.
Tanpa berpikir panjang lagi, Mr Sadler langsung merengkuh bayi yang ada di depannya ke dalam pelukkannya dan mengangkatnya keluar dari benda bulat yang tampaknya mirip seperti pesawat ulang-alik mini para alien yang berfungsi untuk menembus galaksi.
“Kau tidak akan percaya apa yang kutemukan disini, Joane.” gumam Mr Sadler, berbalik menghadap isterinya yang seluruh tubuhnya begetar dari ujung kaki sampai kepala. “Lihatlah, Joane... apa yang aku temukan... lihat, seorang bayi laki-laki yang tampan...” senyum mengembang di wajah Mr Sadler, dengan bersemangat dia menggendong bayi itu menuju ke isterinya yang langsung mendekapkan mulutnya dengan kedua tangannya.
“A—apakah yang ada di tanganmu itu, benar-benar bayi manusia, Tom?” rintih Mrs Sadler waswas.
“Tentu saja, dan kalau kau tanya padaku, dia adalah anak laki-laki paling tampan yang pernah kulihat.” gumam Mr Sadler sengau, mendekati isterinya dan memperlihatkan bayi temuannya. “Lihatlah sendiri, dia manis sekali bukan? cobalah untuk menggendongnya, Joane.” tambahnya, memberikan bungkusan jubah berwarna hijau jambrut yang berisi bayi kepada isterinya yang masih kelihatan tampak terguncang.
Hal yang sama pun terjadi, ketika mata Mrs Sadler bertatapan dengan mata bayi mungil itu, seperti ada semacam ikatan yang mempersatukan mereka, dan dia pun langsung tersenyum. Tak terasa sebutir air mata bergulir di pipinya dan jatuh ke atas kening bayi itu. “K-k-kau betul, T—Tom... bayi ini benar-benar tampan, aku tak pernah melihat bayi semanis dan setampan ini seumur hidupku.” isak Mrs Sadler, mengecup kening bayi yang tengah di gendongnya.
“Aku akan menamakan anak ini Alan Sadler, bagaimana menurutmu, Joane?” gagas Mr Sadler bersemangat.
“Apa maksudmu, Tom? Kita harus melaporkan anak ini dan benda sial itu ke polisi!” sergah Mrs Sadler tajam.
“No way, Joane!” raung Mr Sadler, memandang jijik isterinya. “Coba kau pikir baik-baik, jika kita melaporkan kejadian ini kepada polisi setempat, maka mereka akan langsung menghubungi pihak N.A.S.A dan apa yang akan terjadi bila mereka mengirimkan orang kesini untuk memeriksa benda elips itu, dan mereka juga pasti akan mengambil bayi ini untuk dibawa ke laboratorium mereka untuk di teliti ini dan itu, dan sungguh aku tidak bisa membayangkan apa jadinya masa depan anak ini di tangan mereka, Joane!” tambahnya, mendadak ngeri sendiri dengan kata-katanya.
Mrs Sadler tampak hendak membantah lagi suaminya, namun segera terlintas dalam pikirannya, apakah mungkin memang ini sudah jalannya—bahwa bayi ini bisa jadi sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk di pertemukan dengan dirinya dan suaminya, meski dalam kejadian yang sangat tidak normal, dan hal ini yang membuatnya langsung berubah pikiran, kemudian berkata. “Ya¬¬¬¬¬¬¬, ya, kau benar, tentu saja, tapi bagaimana menyembunyikan benda elips tolol itu, dan bagaimana juga memberitahukan orang-orang, kita mendapatkan anak ini dari mana?” lalu di amatinya suaminya tampak sedang berpikir, seperti tengah menimang-nimang sesuatu.
“Itu hal yang mudah, Joane... malam ini juga akan aku kubur benda elips itu di belakang pondok ini, dan kita dapat mengatakan kepada orang-orang bahwa kita mengadopsi bayi ini dari salah satu panti asuhan yang berada disini, waktu kita berlibur kemari, bagaimana menurutmu, Joane?” kata Mr Sadler bersemangat, tampak bola matanya bercahaya di terpa cahaya bulan.
“Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa ini adalah usul yang menarik, namun apakah kau pikir sudah bijaksana mengubur benda itu di halaman belakang pondok ini, Tom?” gumam Mrs Sadler, melirik ngeri benda elips yang ada di depannya.
“Tentu saja, Joane sayang... kau pikir berapa orang sih yang mau mengecek keadaan halaman belakang pondok mereka, jika di depannya terpampang pemandangan danau yang sangat indah ini?” kata Mr Sadler riang, tangannya membentang ke arah danau.
Dan setelah melihat senyum yang melintas di wajah isterinya, dirinya langsung tahu bahwa usulnya telah diterima, dan kini wajah Mr Sadler seolah terbuai dengan masa-masa indah di depannya, yang sekarang dan nanti akhirnya di temani sosok dari seorang anak yang selalu di rindukannya pada tiap mimpi-mimpinya di setiap malamnya. Dan dia tidak perduli dari mana asal anak misterius ini atau akan jadi apa bila besar nanti, yang jelas dia sudah berjanji dalam hatinya untuk menyayangi sepenuhnya anak ini seperti anak kandungnya sendiri.
Dengan perasaan bahagia, keluarga kecil itu pun kembali ke dalam pondok mereka untuk merayakan malam yang paling fenomenal sekaligus membahagiakan dalam hidup mereka. Tapi, kejutan pada malam itu tidak berhenti sampai disitu, karena ketika Mrs Sadler membuka balutan jubah hijau jambrut yang menyelimuti bayi itu, dia dan suaminya kembali di kejutkan lagi dengan sesuatu yang janggal namun tertoreh indah pada punggung bayi yang telah mereka angkat menjadi anak, karena di punggung bayi itu ternyata terdapat tato berbentuk seperti sayap malaikat yang melekat erat di punggungnya sampai ke batas pinggul.
Mereka berdua tidak tahu bahwa bayi yang telah mereka angkat menjadi anak mereka adalah sebuah pengecualian dari takdir yang terbentuk di atas konspirasi langit, yang mungkin bisa menjadi sebuah pembelokan takdir yang melekat pada bayi yang kelihatannya tidak berdosa itu.

Kamis, 27 Mei 2010

Mistery Of The World

On a planet located in the western hemisphere, which will probably be his starting spot early or end of a trilogy of human life, when our story begins, when we would call civilization with the modern word began to take shape before us.
So far, we feel that we are the sole owners of the planet called Earth, without us realizing that there are other versions of our existence so far.
And never did we realize what the meaning of UFO sightings that has always been controversial among all of us that there may be certain purposes of his presence, would be his appearance.
And if we contemplate it, whether implied a question about whether there might be other life in other parts of the sky with a life like us all, or even more advanced than us in terms of ideas, civilization or technology.
And back again, never did we realize what the purpose of the miracles of buildings made by our predecessors for thousands of years ago are scattered in different continents on this earth, that there might be the existence of its own mystery.
And on its basis we certainly would not agree if we formed the origin as a creature who has the mind associated with primates or apes that in fact it is the animal.
And to how many times we try to uncover what is hidden from the sky with the technology we have today, all these surely it would be a mere futility, because we would never have guessed how far the sky is the limit of how vast and mysterious or His sky.
Implore, do not make this as the benchmark of our thinking, but rather the meaning of our existence all of which might have become a lost generation.

ANALOGI

Di sebuah planet yang berada di belahan bumi bagian barat, yang mungkin akan menjadi tempat dimulainya awal ataupun akhir dari sebuah Trilogi kehidupan manusia, saat kisah kita ini baru dimulai—ketika peradaban yang biasa kita sebut dengan kata modern mulai terbentuk dihadapan kita.
Selama ini kita merasa bahwa kita adalah pemilik tunggal dari planet yang bernama Bumi ini, tanpa kita menyadari bahwa ternyata ada versi lain mengenai keberadaan kita selama ini.
Dan tak tersadarkah kita apa arti penampakan UFO yang selalu menjadi kontroversial di antara kita semua, bahwa mungkin ada maksud-maksud tertentu akan kehadirannya, akan penampakannya.
Dan apabila kita merenunginya, apakah tersirat sebuah pertanyaan mengenai apakah mungkin ada kehidupan lain di belahan langit yang lain yang memiliki kehidupan seperti kita semua atau bahkan lebih maju dari kita baik dari segi pemikiran, peradaban ataupun teknologi.
Dan kembali lagi, tak tersadarkah kita apa maksud dari keajaiban-keajaiban bentuk bangunan yang dibuat oleh para pendahulu kita selama ribuan tahun yang lalu yang tersebar di berbagai benua yang ada di bumi ini, yang mungkin saja terdapat kemisteriusan tersendiri akan keberadaannya.
Dan pada dasarnya tentu kita tidak akan setuju jika asal muasal kita terbentuk sebagai mahluk yang memiliki pikiran dikaitkan dengan primata ataupun kera yang notabenenya adalah hewan.
Dan hingga berapa kali pun kita berusaha untuk menguak apa yang tersembunyi dari langit dengan teknologi yang kita miliki saat ini, sudah pasti kesemuanya akan menjadi kesia-siaan belaka, karena kita tidak akan pernah bisa menerka seberapa jauh batas langit itu ataupun seberapa luas dan misteriusnya langit.
Mohon dengan sangat, jangan jadikan ini sebagai patokan pemikiran kita, namun lebih kepada arti dari keberadaan kita semua yang mungkin saja menjadi generasi penerus yang hilang.

Rabu, 26 Mei 2010

The Sadler

Alan had always assumed that he is as normal as a normal human or humans in general, although there are signs that led her to herself that she is not a normal human being, whether in terms of her eyes bright orange color that can refract light in total darkness even , angel wing-shaped tattoo etched firmly in his back that often glowed with light red color when he was over nightmares of a brutal war that he did not understand what its goals and objectives, and its also the skin that can be directly recovered miraculously even though he was injured badly whatever it is.

Alan has a sidekick named him Jackson Bradley periodic spot on all his fatigue, and in spite of it all as a teenager responsibilities he also has a story of his own love story, which apparently does not run smoothly according to his expectations because Alan has a weakness to express his feelings this to the woman he loved named Aurellia Evaline Swan, who in his final repeatedly separates them in a state that does not necessarily.

During these sixteen years Alan lived in a small town in New Jersey, with her parents who had raised him with love, and been regarded him as her biological parents, but their tragedy is not actually his biological parents.

And Alan just know that it is not proved himself a native of Earth, after he met with Driva who often terrorize her, after she experienced the event that at least makes sense in his life, and was translated by Driva through a tool called the Trans Florasky , a tool that can unlock memories of one's life just by using the media of his blood as a liaison.

Moreover there is an explanation of Driva that makes her tremble conscience does not agree, namely the existence of UFOs which have become controversial among humans, that there was a separate intentions regarding his whereabouts and appearance on Earth. And also about the pioneer of human existence on this Earth that his explanations are so different compared to what we know so far.

But when Alan know all too late, even this to involve the lives of the people in his care.

And a very precarious situation until Alan positioned at the end of his situation where he must choose his own destiny to save the people who loved him, until it creates a dilemma for himself when he had to deny a fact it will be an agreement in the past with one of ruler of the galaxy, which is the beginning of all these turning points that are not on his wish-that might be the end of the existence of the entire galaxy.

And everything became inevitable when he must confront his mortal enemy named Balterzize, which comes from his past life to avenge her on myself on a planet that is millions of light years from Earth, named the planet-a Dayvalla planet surrounded by seven of the sun, which is a planet where he started a revenge tragedy of the endless.

And despite all the good things or bad to be Alan's betting this time, at its end he had to choose one among them, because it involves all these initial and final phase of the universe, as well as his next of his life.

Senin, 17 Mei 2010

Alan Sadler At Overnight In The Last Time

Alan selama ini mengira bahwa dia adalah manusia normal atau senormal manusia pada umumnya, walaupun ada tanda-tanda pada dirinya yang mengarah bahwa dia bukanlah manusia normal, baik itu dari segi matanya yang berwarna orange terang yang bisa membiaskan cahaya dalam kegelapan total sekalipun, tato berbentuk sayap malaikat yang tertoreh erat di punggungnya yang seringkali berpendar dengan warna merah menyala tatkala dia usai bermimpi buruk tentang peperangan brutal yang tidak dia mengerti apa maksud dan tujuannya, dan juga kulitnya yang bisa langsung sembuh secara ajaib meskipun dia terluka separah apapun itu.

Alan memiliki sahabat karib yang bernama Jackson Bradley tempatnya bercurah tentang segala kepenatannya, dan terlepas dari itu semua sebagai seorang remaja tanggung dia juga memiliki kisah love storynya tersendiri, yang ternyata tidak berjalan mulus sesuai harapannya karena Alan memiliki kelemahan untuk menyampaikan perasaannya ini kepada wanita yang dicintainya yang bernama Aurellia Evaline Swan, yang pada akhirnya berulang kali memisahkan mereka berdua pada keadaan yang tidak tentu.

Selama enam belas tahun ini Alan hidup di sebuah kota kecil di New Jersey, bersama kedua orangtuanya yang telah membesarkannya dengan penuh kasih dan sudah di anggapnya sebagai orangtua kandungnya, tetapi tragisnya mereka malah bukanlah orangtua kandungnya.

Dan Alan baru mengetahui bahwa ternyata dirinya bukanlah penduduk asli Bumi, setelah dia bertemu dengan Driva—orang yang sering menerornya, seusai dia mengalami kejadian yang paling tidak masuk akal dalam hidupnya, dan itu dijabarkan oleh Driva melalui sebuah alat yang bernama Trans Florasky, alat yang bisa membuka ingatan kehidupan seseorang hanya dengan memakai media darah sebagai penghubungnya.

Apalagi ada penjelasan dari Driva yang membuat nuraninya bergetar tidak setuju, yaitu tentang keberadaan UFO yang selama ini menjadi kontroversial di antara para manusia, bahwa ternyata ada maksud-maksud tersendiri tentang keberadaan dan penampakannya di Bumi. Dan juga tentang cikal bakal dari keberadaan manusia di Bumi ini yang penjelasannya begitu berbeda dibandingkan dengan apa yang kita ketahui selama ini.

Namun ketika Alan mengetahuinya semua sudah terlambat, bahkan hal ini sampai melibatkan nyawa dari orang-orang yang di sayanginya.

Dan sebuah situasi yang sangat genting sampai memposisikan Alan pada keadaan dimana dia akhirnya harus memilih takdirnya sendiri demi menyelamatkan orang-orang yang dikasihinya, hingga menciptakan dilema bagi dirinya saat dia harus mengingkari suatu fakta akan perjanjiannya di masa lalu dengan salah satu penguasa galaksi, yang merupakan awal titik balik dari kesemua yang tidak di inginkannya—yang mungkin saja akan menjadi akhir dari keberadaan seluruh galaksi.

Dan segalanya menjadi tidak terelakkan lagi tatkala dia harus berhadapan dengan musuh bebuyutannya yang bernama Balterzize, yang datang dari kehidupan masa lalunya untuk menuntut balas pada dirinya di sebuah planet yang berjarak berjuta-juta tahun cahaya dari Bumi, yang bernama planet Dayvalla—sebuah planet yang di kelilingi oleh tujuh matahari, yang merupakan planet tempat dimulainya tragedi dari sebuah dendam tak berkesudahan.

Dan meskipun semua hal-hal baik ataupun buruk yang menjadi pertaruhan Alan kali ini, pada akhirnya dia harus memilih salah satu di antaranya, karena kesemuanya menyangkut awal dan akhir dari fase alam semesta, dan juga kehidupannya selanjutnya.