sepp

Rabu, 14 Juli 2010

BAB II

Mimpi dan Cinta

Waktu terus bergulir dari awal kejadian yang secara tidak langsung telah mengubah kehidupan keluarga Sadler untuk selamanya, yang dimana pada saat malam raya awal liburan mereka di danau Michigan, di hebohkan dengan penemuan seorang bayi laki-laki di sebuah benda elips yang pertama mereka kira adalah sebuah meteor yang jatuh ke Bumi, tapi ternyata tidak lain adalah merupakan sebuah pesawat antariksa yang mengantarkan bayi itu ke Bumi.

Kini, setelah hampir enam belas tahun berlalu, benda elips keperakan yang membawa bayi itu masih tetap terkubur di belakang pondok penginapan mereka yang berada di tepian danau Michigan, aman dan tidak ada yang mungkin menduganya bahwa sesuatu yang asing dan salah satu hal yang bisa saja keberadaannya tidak di terima di Bumi, terpendam dan tidak ada yang tahu.

Hari-hari membahagiakan keluarga Sadler tatkala untuk pertama kalinya mereka memulai merawat serta membesarkan bayi itu terus berlanjut sampai sekarang. Alan kecil tumbuh senormal anak-anak pada umumnya atau mungkin bisa dikatakan normal menurut Mr dan Mrs Sadler, karena mereka tidak bisa memungkiri bahwa ada hal-hal menakjubkan sekaligus aneh pada anak laki-laki yang telah mereka namakan Alan Sadler ini.

Kejadiannya bermula saat Alan berusia empat tahun, dia sedang berada di dapur ibunya dan agak sedikit lepas dari pengawasan Mrs Sadler yang tengah mempersiapkan masakan untuk makan malam. Dengan polosnya Alan kecil mengambil pisau dapur ibunya yang tergeletak di atas meja dan langsung memain-mainkan pisau di tangannya dengan cara mengiris-iris wortel di depannya, seperti yang tadi dilakukan oleh ibunya, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa anak kecil dan benda-benda tajam itu bukanlah perpaduan yang baik.

Jeritan nyaring Alan kecil langsung saja memenuhi ruangan dapur keluarga Sadler, darah segar mengalir dari ibu jarinya, kontan saja kejadian ini membuat Mr dan Mrs Sadler panik bukan main. Secepat kilat Mrs Sadler langsung menyambar putranya dan segera mencuci luka di ibu jari Alan di wastafel tempat cuci piring, sementara Mr Sadler berlari menuju ke sudut dapur dan mengambil kotak P3K, namun ketika Mr Sadler hendak membalutkan perban di jari putranya, kembali lagi dia dikejutkan saat melihat ibu jari putranya sudah kembali seperti semula—darah berhenti menetes dan secara ajaib kulit putranya menyatu dengan sendirinya, tanpa ada bekas luka bahwa sekitar satu menit yang lalu kulit Alan kecil telah tertoreh pisau yang sangat tajam.

Spontan hal ini sangatlah mengagetkan pasangan suami isteri Sadler, namun sejurus kemudian Mr Sadler menyunggingkan senyum janggal di wajahnya dan langsung berkata. “Ini adalah sebuah anugerah atau kelebihan yang diberikan Tuhan kepada kepada anak ini.” gumamnya, sembari mengusap sayang kepala putranya.

Selain peristiwa kecil yang cukup menggemparkan di dapur Mrs Sadler, tidak ada hal-hal aneh atau kejadian istimewa lain yang dialami pasangan suami isteri Sadler dalam membesarkan Alan.

Dan kini Alan Sadler tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah dan dia bukanlah anak manja seperti anak tunggal lainnya di sekolahnya, karena Mr dan Mrs Sadler mendidik putra mereka untuk bisa mandiri sejak Alan masih kecil. Alan juga anak yang cukup jenius untuk anak seumurannya dan karena dia memiliki wajah yang tampan, pesona ini membuat dirinya disukai oleh gadis-gadis remaja yang ada di sekolahnya, dan kabar baiknya dia juga termasuk salah satu anak yang cukup populer

disekolahnya. Tapi dibalik ketampannya Alan juga memiliki kelemahan—kelemahan yang terkadang menghinggapi orang-orang tertentu dengan perasaan yang kelewat peka—dia tidak pernah percaya diri apalagi berani jika sedang berhadapan ataupun berjalan melewati serombongan gadis yang ada di depannya, ditambah jika cewek itu adalah perempuan yang sedang di taksirnya, itu makin membuat semuanya menjadi kacau yang langsung mengkondisikan otak dan tubuhnya tidak bisa bekerja dengan normal.

Namun Alan juga memiliki kegemaran yang sangat unik, yaitu pada saat malam tiba, dirinya selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu selama hampir berjam-jam di depan jendela kamarnya yang berada di lantai dua rumahnya untuk memandang langit di malam hari. Dia tidak tahu kenapa saat menatap langit yang ada di atasnya, dirinya selalu merasa ada sesuatu hal yang mempersatukan mereka, seolah ada suatu fakta yang tersembunyi dibalik keberadaannya, dibalik kebiasaannya ini. Entah apakah itu namanya semacam kerinduan, ketenangan, kedamaian, dia tidak tahu, atau ada hal-hal tertentu lainnya yang membuat dirinya begitu terkesan dengan apa yang dirasakannya ketika malam tiba, dengan kanvas khasnya yang selalu bertabur jutaan bintang dan bulan yang terkadang menemani dengan bentuknya yang selalu berubah-ubah.

Tetapi Alan juga punya satu rahasia—rahasia yang tidak pernah dia diskusikan dengan orang lain, meskipun itu orangtuanya sendiri. Karena dia tahu orang pasti akan langsung beranggapan bahwa dia tidak waras tentang kelebihan apa yang ada di kedua matanya, kenyataan bahwa selain dari pola warna orange yang menghiasi pupil matanya, keanehan terbesar pada matanya ini adalah bahwa matanya ternyata bisa melihat dalam kegelapan total sekalipun, entah apakah ada yang salah dengan retinanya matanya ini dia tidak tahu. Dan Alan sudah menyadari keanehan ini jauh sejak dia masih kecil, dan semenjak itu dia berpendapat bahwa ada sesuatu yang berbeda dari dirinya dengan anak-anak lain seusianya, mulai dari tato berbentuk sayap malaikat yang terukir indah di punggungnya, mata anehnya ini, dan tentu saja kulitnya yang bisa sembuh dengan sendirinya hanya dalam waktu singkat.

Matahari terbit menyinari halaman depan Mr Sadler yang terawat dan rapih, udara begitu sejuk di pagi yang ramah, mengingat hujan turun cukup deras semalam mengguyur kota Mainfreed Town. Tampaknya masih ada sisa-sisa butiran air hujan di setiap ujung-ujung daun dan rumput yang berkilauan cantik di terpa sinar matahari pagi.

Dengan napas agak terengah-engah Alan bangun di pagi itu, piamanya basah oleh keringat di sekujur tubuhnya. Dengan menatap langit-langit yang ada di kamarnya, dirinya mencoba memutar kembali mimpi yang baru dia alami di dalam otaknya. Karena tidak salah lagi akhir-akhir ini dia sering bermimpi aneh yang sama dengan apa yang baru saja di mimpikannya barusan, dan selalu saja dalam mimpi itu dia terjebak dalam suatu pertempuran dasyat yang tidak pernah dibayangkannya. Dimana dirinya selalu menunggangi seekor kuda bersayap—pegasus, berwarna abu-abu keperakan yang melayang bersama dirinya di tengah pertempuran paling brutal, sambil menghujamkan pedang bermata dua yang berpendar dengan warna biru keperakan.

Suara ketukan pelan di pintu kamarnya, sontak membuyarkan lamunan Alan pada mimpinya.

“Alan... Alan sayang, kau sudah bangun, nak?” kata Mrs Sadler lembut dari balik kamarnya, “Tentu kau tidak lupa bahwa hari ini kau ada ujian dengan Mrs Brown, guru matematikamu.”

“Yeah, Mom. Aku sudah hampir bangun, sebentar lagi aku turun.” jawab Alan, menggeliatkan badannya.

“Dan kawanmu, Jack, sudah menunggumu di depan.” tambah Mrs Sadler lembut.

“Oke, Mom, thanks…”

Segera selesai sarapan, Alan langsung mengecup pipi ibunya dan langsung menemui sahabat karibnya, Jackson Bradley. Pemuda berkulit gelap dengan rambut plontos yang hanya sepanjang satu senti di kepalanya yang lonjong dan berwajah periang. Mr Sadler sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali karena ada janji meeting dengan Mr Eisenbud.

“Alan, kau lama sekali, aku hampir saja menjadi patung selamat datang di teras depan rumahmu ini, kau tahu!” tegur Jack, berpura-pura memasang wajah kesal.

“Sorry, man... kau tahu, orang sepertiku ini tidak biasa bangun pagi-pagi, bukan.” canda Alan, tersenyum pada Jack.

“Ya, benar!” dengus Jack, dongkol.

Mereka berdua kemudian jalan bersama-sama di trotoar yang menuju tempat pemberhentian bus sekolah, tentu dengan di barengi saling meledek satu sama lain.
Alan sudah bersahabat dengan Jack semenjak dia masih duduk di kelas tiga, dan semenjak itu mereka seolah tidak terpisahkan, dimana ada Alan disitu pasti ada Jack, dan begitupun sebaliknya. Dan untuk hal-hal tertentu yang tidak bisa dia ceritakan ataupun dia lakukan dengan orang lain, sepelik apapun masalah itu dia selalu berbagi dan minta pendapat dari Jack, dan Jack pun demikian. Bahkan hubungan persahabatan mereka berdua mungkin sudah seperti atau bahkan melebihi saudara kandung, mengingat keduanya tidak memiliki saudara laki-laki.

“Jack, kau tahu aku mimpi apa semalam?” kata Alan, membuka pembicaraan ketika mereka sudah ada di dalam bus.

“Jangan katakan, kalau kau mimpi aneh lagi, bahwa kau menjadi seorang panglima perang yang mengendarai kuda putih yang bisa terbang konyol melayang-layang, begitu.” gumam Jack malas, menatap Alan.

“Tepat sekali, aku mimpi seperti itu lagi semalam.” ujar Alan, dengan suara pelan, “Tapi ini berbeda, aku seperti bisa merasakan bahwa ini benar-benar terjadi, bahkan anehnya lagi aku nyaris bisa mencium bau anyir darah di pedangku dan lain sebagainya, kau tahu.”

“Sepertinya kau harus menemui seorang psikiater, sobat.” tegas Jack, memandang tajam Alan. “Karena kalau tidak, kau bisa...”

“Aku tidak gila, Jack!” bentak Alan, begitu keras sehingga separuh penumpang bus langsung menengok ke arah tempat mereka. “Dengar, Jack, kau adalah sahabatku, dan kau adalah psikiaterku yang paling hebat, aku percaya padamu, aku hanya merasa akhir-akhir ini bahwa...” Alan menghentikan ucapannya, saat melihat wajah jack yang mengernyit ngeri padanya. “Ya, mungkin kau benar, aku hanya kelelahan dan kurang bisa berpikir jernih akhir-akhir ini...” ungkapnya lemah.

“Buddy, kita sudah berteman begitu lama, bukan aku tidak percaya padamu, tapi, aku hanya... hanya mengkhawatirkanmu, itu saja.” kata Jack hati-hati, takut jika Alan akan merasa tersinggung lagi.

“Thanks, Jack.” ujar Alan lirih.

Lalu perjalanan mereka pun diisi dengan membaca buku dan saling tanya jawab mengenai soal-soal yang mungkin akan keluar dalam ujian nanti.

Sinar matahari menerobos masuk ke dalam ruang kelas mereka melalui kaca-kaca jendela, semua anak duduk dengan kepala masing-masing menunduk rendah di atas soal ujian mereka yang hanya diberi waktu dua jam oleh Mrs Brown untuk menyelesaikan soal-soal ujian mereka, tapi semua soal-soal itu sudah selesai di kerjakan oleh Alan ketika ujian baru berlangsung selama lima belas menit, dan setelah itu Alan mulai melakukan pekerjaan yang paling dia sukai di seluruh dunia—pekerjaan yang selalu membuat jantungnya berdebar-debar ketika dia melakukannya hingga aliran Adrenalin langsung membanjiri pembuluh darahnya. Setelah melirik ke kanan-kiri untuk memastikan tidak ada yang memperhatikan dirinya, karena semua anak masih tampak sibuk dengan soal-soal di depan mereka, maka Alan langsung menatap ke arah jam satu melewati empat meja di depannya, hingga pandangannya jatuh kepada seorang gadis yang sangat cantik, kulit gadis itu putih halus seperti pualam, rambut cokelatnya terurai ketika dia menundukan kepalanya mengerjakan soal-soal ujian dan saat gadis itu menengok ke kiri untuk melihat jam besar yang ada di atas mereka nampak mata biru yang dimilikinya luar biasa indah. Kegairahan membuncah di dasar perut Alan, seakan ada salah satu organnya yang sedang berjalan-jalan di dalam perutnya, dan dengan ketakjuban yang sejenak menghipnotis pikirannya, Alan memandang bidadari mungilnya sampai tubuhnya membeku bak patung, hingga dia tidak sadar ujian telah selesai.

“Letakan pena, kalian!” seru Mrs Brown keras, “Dan kau Mr John, cepat kumpulkan soal dan jawaban teman-temanmu, dan kalian tetap duduk di tempat sementara Mr John berkeliling mengumpulkan semua hasil ujian kalian!” hardiknya ketika ada seorang anak yang tengah berdiri mau keluar kelas.

‘Duk’

Sebuah bola kertas melambung mengenai bagian belakang kepala Alan, dan saat dirinya menengok untuk melihat siapa yang baru melemparnya.

“Bagaimana, apa kau sudah selasai?” bisik Jack, yang duduk dua meja di belakang Alan.

“Lima belas menit ketika ujian baru dimulai.” ujar Alan tersenyum.

Dan ketika semua anak sudah berdiri, Jack langsung menghampiri Alan, “Ayo kita pergi ke kantin, perutku lapar sekali... kau tahu, tadi aku tidak sempat sarapan karena kau terlalu lama berdandan untuk pergi ke sekolah.” ledek Jack, tersenyum jail.

“Bagus sekali.” dengus Alan.

Kantin mereka terletak di belakang kelas laboratorium kimia, dan ada sekitar lima belas meja panjang yang memenuhi ruangan kantin yang ukurannya dua kali dari kelas mereka, di sudut kantin ada banyak stan yang menjajakan banyak menu makanan, mulai dari steak, ayam goreng, minuman ringan dan masih banyak lagi. Alan mengisi nampan miliknya sedikit-sedikit, tapi Jack malah sebaliknya dia menyambar nampannya dan mulai mengisinya penuh-penuh dengan hampir semua makanan yang ada disitu.

“Menurutmu apakah tidak sebaiknya kau mulai menceritakan mimpimu itu kepada orangtuamu?” kata jack, sambil mengunyah ayam gorengnya.

“Kurasa tidak, aku tidak mau membuat Mom dan Dad kuatir karena sebuah mimpi konyol.” gumam Alan, memainkan makanan yang ada di nampannya dengan menggunakan garpu.

“Tapi kau tidak bisa diam seperti ini terus, kan.” kata Jack, agak mengernyit.

Tapi ada sesuatu yang mencuri perhatian Alan, dia baru saja melihat serombongan anak perempuan masuk ke dalam kantin, dan dirombongan itu juga ada cewek yang selama satu setengah jam lebih di pandanginya tadi sewaktu ujian. Langsung saja isi perut Alan menggeliat seolah semua organnya sedang menari di dalamnya, bahkan Alan tidak bisa melepas pandangannya dari gadis itu, dan mendadak tanpa di sadarinya tiba-tiba matanya bertatapan langsung dengan mata biru cemerlang milik gadis itu yang sontak langsung membuat tubuhnya seperti baru saja tersengat aliran listrik sekeras 100.000 Volt, dan dia tak dapat bergerak, Hanya badannya saja yang bergetar hebat hingga keringat dingin pun mengalir dari kening dan pelipis wajahnya yang sekarang berwarna merah jambu. Kejadian itu begitu cepat sampai sebuah suara membangunkannya dari sebuah fantasi paling aneh yang sedang di alaminya.
“Alan, apakah kau mendengarku!” tegur Jack, menatap Alan yang masih melongo bodoh. ”Hello... Alan!”

“Maaf, tadi kau bicara apa?” kata Alan, yang matanya masih memandang penuh arti kepada sesosok cewek yang kini duduk sambil mengobrol riang bersama teman-teman ceweknya.

“Ya, betul... pantas saja, Aurellia Evaline Swan.” gumam Jack, dengan suara dramatis. “Gadis paling cantik dan mempesona di sekolah kita.” sindirnya sambil ikut memandang serombongan cewek yang tengah tertawa sekarang, “Alan, jujur, aku heran padamu, kenapa kau tidak katakan saja padanya bahwa kau menyukainya?”

“Apa kau sudah gila! Bagaimana kalau dia hanya diam saja, dan hanya menatapku dan memandangku seakan aku ini Yeti atau apa, begitu!” kata Alan, mendadak gugup.

“he...he...he.... dia tidak akan melakukan itu padamu, sobat, dan asal kau tahu sudah menjadi rahasia umum di sekolah ini kalau kalian berdua sebenarnya saling menyukai.” kata Jack, geli melihat tampang Alan yang air mukanya berubah dari ngeri menjadi merah padam.

“Entahlah, Jack... setiap aku berada di dekatnya ataupun ketika mata kami bertatapan pasti aku selalu menjadi patung bodoh yang tidak berguna.” gumam Alan, agak lemah.

“Suatu hari nanti, kau pasti akan menemukan caranya, sobat. Cara yang begitu mudah jika kau memiliki sedikit keberanian di dalam hatimu, karena hanya hal itu yang tidak kau miliki selama ini, kawan.” kata Jack, bijak.

“Yah, mungkin kau ada benarnya juga.” ujar Alan, seraya memperhatikan Aurell dan teman-temannya pergi meninggalkan kantin. “Aku memang terlalu takut mengutarakan perasaanku padanya...”

***

Pada saat makan malam di dapur Mrs Sadler yang bersih, Alan masih termenung menghadapi makanannya, pikirannya masih penuh dengan kata-kata Jack tadi siang di kantin, Jack benar dia harus segera bicara dengan Aurell tentang perasaannya, karena jika tidak dia bisa gila atau yang lebih parah lagi ada orang lain yang akan mengatakannya kepada Aurell. Dan semua pikiran memusingkan itu mulai membuat dirinya kembali memainkan makanan yang ada depannya.

“Alan, kau baik-baik saja, dear?” tanya Mrs Sadler lembut, “Seusai pulang sekolah kau diam saja, apakah tadi kau bisa mengerjakan ujianmu, sayang?” tambahnya, membungkuk memandang Alan.

Alan menggelengkan kepala kuat-kuat dan mulai menyuap daging rebus ke dalam mulutnya. “Aku tidak apa-apa, Mom... a—aku cuma merasa agak kurang enak badan dan ujian tadi, sangat mudah seperti biasanya.” katanya, agak sedikit berbohong.

“Apakah kau mau kuambilkan obat, Alan?” tanya Mrs Sadler, kelihatan cemas.

“Tidak usah, Mom, thanks. Kurasa aku hanya kecapaian saja, kok.” kata Alan, kembali berbohong.

“Apa kau yakin?”

“Seratus persen.”

Lama Alan terdiam, dan dengan sedikit waswas memandang ke arah ayahnya, Mr Sadler.
”Dad boleh aku tanya sesuatu padamu?” kata Alan, menatap ayahnya dengan memasang mimik muka serius di wajahnya.

“Tentu saja, nak.” ujar Mr Sadler, sedikit tersenyum. “Apa saat ini ada yang mengganggu pikiranmu, jagoan?”

“Aku, yah—tapi kalian jangan tertawa, oke!” kata Alan menantang hingga wajahnya semakin lama semakin merah.

“Kau bisa mempercayai kami, nak.” senyum Mr Sadler, mengerling ke arah isterinya.

“Oke, begini persoalannya, ya—aku menyukai seorang cewek di sekolah, namanya Aurell, tapi aku tidak tahu bagaimana, maksudku—bagaimana cara menyampaikan perasaanku ini padanya.” kata Alan cepat, “Kalian tahu, aku tidak pernah berpacaran sebelumnya, kan, nah, sekarang silakan tertawa!” tantangnya.

“Kami tidak akan tertawa, nak,” ujar Mr Sadler, Alan mengerjap, “Itu adalah hal yang alami bagi anak seumur kau, dan aku masih ingat ketika pertama kali mencoba mendekati ibumu.” matanya kembali melirik ke arah isterinya, “Dan kau tahu apa yang aku lakukan? Aku berpura-pura sakit kepala hebat—waktu itu ibumu masih bekerja sebagai seorang perawat di salah satu klinik, dan aku menemui ibumu untuk di periksa setiap hari selepas jam dua belas siang, karena aku tahu pada jam segitu para dokter biasanya sedang istirahat untuk makan siang. Ya, pertama kali ibumu menolak untuk memeriksaku dan mengatakan untuk kembali lagi nanti setelah Dr Henry datang, tapi aku tidak hilang akal, nak, aku terus merajuk padanya untuk di periksa dan sampai akhirnya ibumu bersedia untuk memeriksa kepalaku dan kau tahu, nak, aku menikmati betul saat jemari-jemari ibumu membelai rambutku untuk memeriksa di bagian mana kepalaku yang sakit. Setelah itu aku berkenalan dengannya dan tanpa basa-basi aku langsung mengajak ibumu untuk berkencan denganku.” kenang Mr Sadler, mengakhiri ceritanya.

“Ya, tapi ayahmu membutuhkan waktu hampir tiga bulan, untuk merayuku agar aku mau berkencan dengannya.” koreksi Mrs Sadler, sedikit tertawa.

“Itu tidak bisa kupungkiri memang, tapi intinya nak, perempuan itu adalah makhluk yang sangat kompleks, maka dari itu perlu di perlakukan dengan sangat hati-hati. Dan yang terpenting yang kau butuhkan untuk menggapainya adalah dengan sedikit keberanian dan waktu yang tepat, baru setelah itu kau bisa mendapatkan hatinya. Apakah kau mengerti maksudku, nak?” tanya Mr Sadler.

“Ya, semuanya hanya soal keberanian kita saja untuk menghadapi mereka, betul kan, dad!” kata Alan lesu.

“Tepat sekali, nak.”

“Boleh aku ke atas duluan, aku baru ingat tadi Mrs Brown memberikan tugas pada kami dan besok harus sudah di kumpulkan.” kata Alan berbohong, beranjak dari meja makan dan bergegas menaiki anak tangga yang menuju kamarnya.

Setelah didalam kamar Alan langsung merebahkan tubuhnya di kasur, mata orangenya melayang memandangi langit hitam melalui jendela kamarnya, otaknya penuh dengan kata-kata ayahnya dan Jack soal keberanian yang selama ini tidak dimilikinya.
Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan ini, pikirnya; besok setelah pelajaran usai dia harus menemui Aurell dan mau tidak mau harus menyatakan perasaannya sebelum keberaniannya hilang. Tapi bagaimana cara memulai percakapannya? dia tidak mau terlihat bodoh nanti di depan Aurell, karena tidak bisa memilih kata-kata yang tepat untuk berbicara. Alan sekarang berjalan mondar-mandir di dalam kamar, otaknya kosong karena tidak bisa menemukan satu pun kata yang tepat untuk memulai pmbicaraan.

“Er..er... Aurell lama kita tidak berjumpa, maukah kau berjalan denganku sebentar?” tidak, pikir Alan, itu terlalu bodoh. ”Er, Aurell, kudengar sekarang ada film yang bagus di bioskop, er, apakah kau mau menontonnya bersamaku? Ya, untuk mengetahui apakah film itu benar-benar bagus, maksudku...” tidak, tidak, pikirnya, terlalu konyol dan amatir. “E..e... hey, apa kabar? Aurell, apakah kau tahu bahwa sebenarnya di mars itu ada kehidupan tadinya... Arghhhhhhhhh…!!!!!” (Tuhan... bagaimana caranya... please, help me... help me, please)...”

Dan setelah hampir selama dua jam, Alan berlatih memulai percakapan seperti orang gila bodoh yang bicara pada cermin seolah-seolah cermin itu bisa mendengarnya dan berbicara kembali padanya, Alan pun langsung merebahkan kembali badannya di kasurnya yang empuk, puas pada akhirnya dia bisa menemukan kalimat yang tepat yang tidak akan membuatnya kelihatan bodoh di depan Aurell besok. Matanya terpejam memikirkan hari esok yang masih tanda tanya, dan setelah membayangkan dan menguatkan dirinya bahwa Aurell tidak akan lari ataupun memandangnya seperti orang bodoh yang berasal dari planet lain, akhirnya dia pun tertidur.

Alan menaiki kuda seputih salju yang dengan elok melayang memasuki pertempuran, di tangan kanannya tergenggam sebuah pedang bermata dua yang kini memendarkan cahaya biru, sementara tangannya yang lain memegang kendali pada si kuda. Teriakan, erangan, dan hantaman tombak dan pedang yang beradu menyelimuti padang rumput kering tempat mereka bertarung, jiwanya terbakar dengan emosi, hanya satu yang dirasakan dan diinginkannya, membunuh semua mahkluk yang ada di hadapannya.
Dengan satu hentakan kuat Alan mengayunkan pedang mata duanya, seleret cahaya biru muncul di kedua mata pedangnya seperti menciptakan sebuah kilatan petir yang langsung menghantam orang-orang di depannya ketika pedang itu di kibaskan.
“LORD KNIGHT VRYYU!” raung suara menggelegar di depannya.

Alan terbangun dengan kaget, dia langsung terduduk di tempat tidurnya, agak sedikit tersengal seakan dia baru saja habis berlari, seluruh wajahnya bersimbah keringat, piamanya menempel ketubuhnya, dirinya mandi keringat, buru-buru Alan membuka piamanya dan langsung berjalan cepat menghampiri cermin sambil membalikkan tubuhnya.

“Sudah kuduga,” gumamnya memandang punggungnya di cermin dan melihat tato sayap malaikat yang terukir di punggungnya kini menyala dengan warna merah terang, membuat liuk-liukan garis di punggungnya benar-benar menyerupai sayap malaikat yang tengah terbakar. “Apa maksudnya semua ini, aku benar-benar tidak mengerti, kenapa mimpi-mimpi aneh itu selalu datang dan kenapa pula tatoku selalu bercahaya mengerikan seperti ini, pasti ada penjelasan yang rasional terhadap semua ini.” kata Alan pada dirinya sendiri, yang sekarang melangkah mendekati jendela.

langit masih gelap, pohon-pohon yang ada di depan rumahnya bergoyang menyeramkan di terpa angin, pekarangan di depan rumahnya hanya di terangi sedikit sinar bulan dan lampu-lampu jalanan yang pucat—Alan memang sengaja tidak menutup jendela kamarnya waktu dia tertidur tadi saat memikirkan sikap Aurell besok, semilir angin dingin merayap menggerayangi tubuhnya yang tadi basah bersimbah keringat, sesaat dirinya merasakan perasaan nyaman dengan perubahan suasana ini, mengingat lima menit yang lalu dia merasakan tubuhnya seolah terbakar.

Dirinya tetap membiarkan jendelanya agar terbuka untuk mengundang angin masuk ke kamarnya, dengan menelentangkan tubuhnya di atas kasur dan dengan kedua tangan terlipat di kepala, Alan memandang langit-langit di atas kamarnya, pikirannya menerawang pada mimpi yang baru saja di lihatnya.

Siapa sebenarnya, Lord Knight Vryyu, itu? Dan kenapa orang yang berteriak itu tampak marah sekali padanya, pikir Alan bingung, membalikkan tubuhnya ke samping dan setelah beberapa saat tertidur lagi. Dirinya terbangun ketika pagi menjelang dan baru ingat, bahwa hari ini adalah hari penentuan baginya untuk menguji sampai sejauh mana keberaniannya untuk menghadapi tatapan teduh Aurell.

***

Selama jam pelajaran berlangsung, Alan tidak bisa konsentrasi, pikirannya penuh dengan kalimat-kalimat yang sudah di persiapkannya untuk menghadapi Aurell nanti, sampai-sampai ketika makan siang di kantin pun Alan tidak menyentuh sedikit pun makanannya. Jack yang bingung dengan sikap Alan hari ini, beranggapan bahwa Alan sudah sangat keterlaluan gara-gara mimpi anehnya, padahal bukan itu yang sedang di pikirkannya, baru setelah Alan bercerita bahwa hari ini dia akan mengutarakan perasaannya pada Aurell, Jack langsung membuat gerakan kemenangan dengan mengangkat kedua tangannya, seperti seorang pemain sepak bola yang baru saja mencetak gol bagi kesebelasannya dengan tertawa tergelak-gelak, sampai membuat beberapa siswa perempuan yang sedang makan di sekitarnya melirik melecehkan.

“Hey, kendalikan dirimu!” seru Alan sengit, seringai enggan merekah di wajahnya, ketika melihat Jack tertawa seperti orang gila sambil memukul-mukul meja dengan nada yang tidak beraturan.

“Sorry bro, sorry... jujur aku shock mendengarnya dan aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan kebanggaanku pada keberanianmu, sobat.” cengir jack, masih terus menahan tawa di wajahnya.

“Oh, diam kau!” dengus Alan, “Dengar, setelah pelajaran usai, kau langsung keluar dari kelas dan jangan menungguku—aku benar-benar ingin sendiri ketika berbicara dengan Aurell, apa kau mengerti?”

“Yes, Sir!” seru Jack, mengangkat tangan untuk memberikan hormat pada Alan.

Detik demi detik berjalan lambat, Alan berkali-kali melirik arlojinya berharap pelajaran segera selesai, dan setelah Mrs Smith memberikan Pr dan memberitahukan mereka semua bahwa minggu depan dia akan memberikan ujian tambahan yang langsung di sambut anak-anak dengan sorakan ‘Whuu’ pelan, pelajaran pun selesai. Anak-anak mulai berdiri untuk meninggalkan kelas, tampak Aurell juga hendak berdiri sebelum secara tiba-tiba tas sekolahnya terjatuh ke lantai, hingga membuat buku-buku tebal dan beberapa pena miliknya bertebaran di bawah kakinya—sebuah hal aneh yang bisa saja terjadi dalam keadaan yang tidak terduga-duga.

Ini saatnya, gumam Alan dalam hati, kini kelas hanya tinggal mereka berdua dan sudah tidak ada waktu lagi untuk mundur. Tanpa berpikir panjang lagi, Alan langsung menghampiri Aurell yang masih sibuk membereskan buku-bukunya yang tersebar di lantai.

“Boleh kubantu?” sapa Alan agak kikuk, perutnya mendadak beputar dengan sendirinya.

“Oh... iya—tentu saja.” kata Aurell sedikit terkejut, memungut buku fisika untuk tingkat sebelas. “Aku tidak tahu, kenapa aku begitu ceroboh sampai tasku bisa terjatuh begitu—thanks...” ujarnya, saat menerima buku dan pena yang diberikan oleh Alan, seraya memandang mata orange milik Alan, “M—matamu indah sekali, jika kulihat dari dekat, apakah kau... maksudku... bagaimana... sorry, kenapa aku mendadak menjadi gugup begini.” katanya sedikit panik, langsung memasukan buku-buku serta penanya ke dalam tas dan bangkit berdiri, rona merah menyapu wajahnya.

“Kau juga memiliki mata yang indah... maksudku, sangat indah.” puji Alan, menyerahkan pena terakhir kepada Aurell, dan dalam kondisi seperti ini, dirinya tidak akan heran jika jantungnya tiba-tiba meloncat keluar dari tubuhnya dan langsung terjun bebas dari atas jendela kelas.

“Oh, thanks...” kata Aurell gugup. “Oke, terima kasih, ya, Alan, sudah mau membantuku... maksudku, sampai jumpa lagi.” tambahnya tersenyum, melangkah untuk meninggalkan kelas.

Melihat bahwa kesempatan langka seperti ini tidak akan datang dua kali dalam hidupnya.

“Aurell...” panggil Alan pelan, tangannya melayang bodoh hendak mengapai udara di belakang Aurell.

“Iya,” ujar Aurell, mengerlingkan matanya untuk menatap Alan yang ada di belakangnya, membuat beberapa helai rambut cokelatnya berterbangan indah di sekitar kepalanya saat dia menengok ke arah Alan, sungguh pemandangan yang bisa membuat jantung Alan mendadak meledak di dalam rongga dadanya dengan bunyi ‘Duk’ pelan.

“Er... bisa bicara sebentar, maksudku, apakah kau punya waktu sebentar?” tanya Alan gugup bukan main, wajahnya sekarang sudah benar-benar merah padam saking nervousnya.

“Tentu saja, aku tidak buru-buru, kok.” gumam Aurell, rona merah kembali merambati wajahnya.

“Begini, er... apakah kau tahu sebenarnya seberapa jauh jarak bumi ke Pluto, ya?” kata Alan ngaco.

“Excuseme?”

“Maaf, maksudku...” keringat dingin mulai mengalir di pelipis Alan, dirinya sekarang benar-benar tidak bisa mengingat satu patah kata pun yang sudah dihapalkannya mati-matian tadi malam, dan tampangnya sekarang sudah pasti terlihat sangat bodoh sekali di depan Aurell. Tanpa pikir panjang lagi, Alan langsung memejamkan kedua matanya sambil menghirup napas panjang-panjang, sampai beberapa kali.

“Alan, kau tidak apa-apa?” tanya Aurell cemas, melihat sikap Alan yang mendadak aneh begini.

“Aurell,” gumam Alan pelan, mulai membuka kedua matanya.

“Ya,”

“Aku tahu, ini pasti kelihatan bodoh atau bahkan terdengar konyol malah... tapi, saat ini aku hanya bisa berpikir bahwa momen seperti ini tidak akan terjadi untuk kedua kalinya.” kata Alan, menatap Aurell yang kini diam tertegun. “Dan aku pun tidak menyalahkanmu jika kau langsung menertawakanku dan pergi meninggalkanku tanpa mau menemuiku lagi, karena kini bagiku hal itu tidak menjadi masalah lagi...”

“Alan,” desah Aurell lemah, dengan mata seolah tidak percaya.

“Aurell...” gumam Alan seraya menelan ludah. ”Aku menyukaimu sejak dari tiga tahun yang lalu, sejak kita pertama kali bertemu di taman kota dan semenjak itu aku tidak bisa menyingkirkanmu dari pikiranku.” kata Alan cepat—picisan, dengan suara hampir tercekik.

Setelah Alan menyatakan hal itu, dirinya langsung memejamkan kembali kedua matanya beberapa saat, puas karena telah menyelesaikan ujian terberatnya. Ternyata semua ini lebih mudah di praktekan dari pada di pikirkan, dan ketika dia membuka kedua matanya lagi, terpandang olehnya Aurell tengah menundukan kepalanya seolah menatap lantai di kakinya, dan saat dia mengangkat kepalanya, tampak kedua mata birunya tengah berkaca-kaca.

“Maaf, Alan... aku... aku tidak bisa...” ratap Aurell lemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar